Selasa, 02 Desember 2008

Wawancara dengan Faisal Basri soal Kepemimpinan


Pemimpin jangan durhaka pada bangsanya

Faisal Basri adalah sosok pemimpin muda yang kuat dan mempunyai karaktek dalam berideologi, baik sebagai ekonom maupun sebagai salah satu agen perubahan di Indonesia.
Ditemui secara marathon di sela-sela kesibukan dalam mendiseminasikan gagasan melalui seminar dan kesibukan mengajar di universitas, redaksi kami berhasil melakukan wawancara di dua tempat yang berbeda, Hotel Le Meredien dan ruang rapat Irsa tempat Faisal Basri beraktivitas sehari-hari. Berikut petikan wawancara tentang kepemimpinan.

Bagaimana menurut Anda kepemimpinan yang ideal untuk situasi Indonesia saat ini?

Berbicara mengenai kepemimpinan yang ideal, mungkin kita bisa memulainya dari fungsi kepemimpinan itu sendiri. Menurut hemat saya, fungsi kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin memobilisasi seluruh resources yang ada, sumberdaya yang kita miliki, untuk mencapai satu tujuan secara efektif.
Seperti kita ketahui, tujuan bangsa kita kan antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu adalah goals bangsa kita. untuk membawa bangsa ini mendekat ke goals-nya, tanpa zig zag. Sumber daya manusia dan sumber daya alam. Dan kemampuan meraciknya untuk mencapai tujuan yang kita harapkan itu. Dari segi itu, pemimpin juga harus punya komitmen, dalam arti kemampuan memobilisasi sumber daya yang dimiliki bangsanya, di samping kemampuan persuasif pada kelompok-kelompok kepentingan yang ada, dan mewujudkan kebahagiaan buat seluruh rakyatnya.
Seorang pemimpin harus tahu jalan mencapainya dan kendaraan apa yang dia pakai untuk mencapai tujuan itu. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa membawa seluruh penumpang di kendaraan itu mencapai tujuan, dan menjamin agar tujuan-tujuan itu selalu terjaga atau berada dalam track-nya yang benar. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa memobilisasi sumberdaya dan mengarahkan ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih cepat. Capaian-capaian yang lebih tinggi dan lebih cepat yang diupayakan oleh seorang pemimpin harus diarahkan untuk membawa tujuan bangsa ini tetap berada dalam track-nya. Itulah indikator dari efektifitas kepemimpinan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membangun institusi sebagai tracknya. Tracknya adalah peranan institusi dalam artian semua itu harus harus dijabarkan melalui penguatan institusi. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menjabarkan tujuan-tujuan bernegara melalui penguatan peran institusi tadi. Artinya, ketika dia sudah tidak memerintah kebijakannya bisa dilanjutkan.
Karena pemimpin yang baik adalah ketika ia sudah tidak memerintah institusinya harus jalan terus. Instutusi yang baik adalah yang baik harus didasari oleh ideologi. Oleh karena itu seorang pemimpin harus punya ideologi. Ia harus patuh, tunduk, dan taat pada ideologi yang ditetapkan oleh bangsanya. Apa ideologinya. Ideologi politiknya adalah demokrasi sosial, ideologi ekonominya adalah ekonomi pasar sosial. Nah kalau pemimpin itu membawa ideologi bangsa itu ke arah ideologi kapitalisme-neoliberalisme, artinya dia pemimpin yang durhaka kepada bangsanya.

Menurut Anda, apa saja kriteria yang harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia saat ini?
Kriteria pertama seorang pemimpin adalah, ia harus taat asas pada landasan ideologinya. Ia harus orang yang memiliki keyakinan (belief), seorang yang memiliki keyakinan yang penuh tanpa pamrih (one man with it belief, it would be thousand without an interest). Orang yang punya belief yang paling penting, dia yakin landasan ideologinya benar dan bisa dijadikan kendaraan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Kedua, ia seorang yang visioner. Dia juga bisa membawa rakyatnya untuk menghadapi tantangan-tantangan, bukan hanya yang ada sekarang, akan tetapi tantangan yang akan dihadapi bangsanya di masa depan. Ia harus punya kemampuan untuk melakukan pengayaan (enrichment) dari orang-orang yang dipimpinnya untuk melakukan peningkatan kapasitas menghadapi perubahan-perubahan yang dinamis. Jadi pemimpin itu menyiapkan bangsanya bukan untuk sekedar menghadapi masalah sekarang, tapi juga berbagai bentuk tantangan yang akan terjadi di masa depan.
Ketiga, dalam konteks Indonesia, karena situasi sosio-kultural bangsa kita yang sangat heterogen, pemimpin itu harus bersifat inklusif, karena pemimpin yang inklusiflah yang bisa mengajak seluruh rakyat yang bebeda suku, bangsa, agama, latar belakang, dan adat isitiadat itu berjalan sama-sama dalam satu kendaraan untuk mencapai tujuan bangsa, tidak ada yang tercecer.
Keempat, meletakkan dasar-dasar pijakan bagi bangsa ini untuk terus maju dan berkembang ke depan, sehingga dia tidak berorientasi semata-mata pada hasilnya sekarang, karena pemimpin itu adalah pada umumnya, hasil nyata yang dia upayakan baru kelihatan sepuluh-lima belas tahun setelah dia tidak lagi berkuasa. Jadi pemimpin yang baik tidak boleh bersikap, ah …. yang penting pokoknya saya bikin aja, saya genjot sekarang, supaya masyarakat memilih saya kembali.
Sementara yang kelima, pemimpin itu harus mampu melahirkan kader-kader pemimpin yang lebih banyak dan memiliki kemampuan yang lebih baik dari dia.
Menurut Anda, konsep dan strategi kebijakan seperti apa yang harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia guna menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi saat ini?
Sebelum kita bicara konsep dan strategi kebijakan, saya terlebih dahulu ingin mengemukakan persoalan institusi, karena di Indonesia pengertian institusi ini banyak disamakan dengan agensi. Kalau agensi itu kan pemerintahan, departemen, atau dengan kata lain government agency.
Sementara insitusi itu berisi norma, value, peraturan, undang-undang sampai konstitusi yang diyakini secara bersama oleh bangsa itu sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan. Instutusi adalah sarana yang meng-create tata aturan, yang meng-create kepastian bagi siapa pun sehingga orang tahu kalau dia berbuat apa dia akan mennghadapi atau mendapat konsekuensi apa.
Bangsa ini sesungguhnya telah meletakkan tujuannya dengan jelas, yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya. Tapi, kita tidak pernah kunjung secara eksplisit, tegas, lugas, memilih kendaraan untuk mencapai tujuan tadi. Jadi, ya bingung terus. Kan untuk mencapai tujuan harus menggunakan kendaraan. Nah akar soalnya, ada di undang-undang dasar kita yang rancu. Kenapa rancu, karena undang-undang kita disusun bersifat sementara. Kata Bung Karno, nanti kalau sudah pemilu, hasil pemilu itu akan menghasilkan MPR/DPR yang akan bersidang untuk membuat konstitusi baru yang komprehensif.
Masalahnya, sampai sekarang kita tidak pernah membangun konstitusi baru yang komprehensif itu. Sudah engga pernah membangun, kemudian tiba-tiba diamandemen dengan cara engga karu-karuan, sehingga banyak menimbulkan kerancuan. Lihat saja sistem pemerintahan kita sekarang, presidensil engga, parlementer engga, federalisme engga, sentralisasi engga. Bikameral ada, tapi kenyataannya masih unikameral. Peran negara dan peran pasar kacau. Inilah yang membuat segala sesuatunya jadi rancu.
Karena kita tidak pernah tegas merumuskan demokrasi kita seperti apa? Katanya demokrasi Pancasila, tapi juga tidak pernah didefinisikan secara jelas. Nah ini semua yang menimbulkan kerancuan. Kita disebut liberal engga mau, tapi kenyataannya berbagai kebijakan kita amat liberal. Ini yang bikin kita selalu silang sengketa, berpolemik, dan membuat kita lelah. Ketika digulirkan kebijakan privatisasi rame, tarif tol naik rame, semua rame, pemerintah kita bingung karena tidak punya pijakan.
Sebagai bangsa, kita menghadapi hambatan kelembagaan yang cukup serius. Sejarah menunjukkan, negara-negara yang maju sekarang adalah negara-negara yang memiliki kelembagaan politik dan kelembagaan ekonomi yang baik di masa lalu. Artinya, bisa saya katakan kelembagaan politik dan kelembagaan ekonomi yang baik di Indonesia sekarang lah yang akan menjamin Indonesia maju di masa yang akan datang. Kalo kita potret kelembagaan Indonesia sekarang kan kocar kacir. Sehingga banyak orang di negeri ini suka-suka aja bikin visi, karena apa, karena negara ini memang kacau kelembagaannya, jadi kaya orang ngigau.
Bagaimana Anda melihat contoh kepemimpinan negara-negara berkembang lain (seperti di negara-negara kawasan Latin Amerika) dalam menyelesaikan persoalan kepemimpinan?

Secara historis dan sosial, di Amerika Latin itu, setelah merdeka, perusahaan multinasional masih berperan sangat kuat, berkolaborasi dengan elite lokal, yang pada umumnya adalah indo, yang asal-usulnya berasal dari keturunan Spanyol atau Portugis. Nah, kalo dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan itu perusahaan-perusahaan asing yang hampir seluruhnya peninggalan Belanda itu dinasionalisasi, ditransformasikan ke dalam BUMN, seperti PJKA, Telkom, PTP, dan sebagainya. Sehingga konteksnya, kalau di Latin Amerika itu diametral antara kepentingan publik dan kepentingan perusahaan multinasional, kalau di Indonesia BUMN. Jadi terkesan berontak melawan negara. Nah, berontak melawan negara subversi namanya, jaman pak Harto dulu. Dan kalo kita perhatikan, karakter BUMN ini sama seperti perusahaan multinasional, Pertamina misalnya tidak memiliki kontribusi banyak kepada masyarakat, PLN cuma melistriki empat puluh lima persen penduduk, Telkom hanya melayani empat persen (fix line) dari jumlah penduduk, PTP juga engga ada manfaatnya buat rakyat. Tapi di Indonesia sosok yang muncul adalah negara. Jadi solusinya bukan berarti BUMN sebagai perusahaan milik negara harus di privatisasi. Kalau privatisasi jatuhnya ke tangan Aburizal Bakrie atau ke Jusuf Kalla kan sama saja bohong.
Jadi bagaimana menciptakan suatu iklim persaingan yang memungkinkan BUMN-BUMN itu tergerak untuk berubah. Dan terbukti kan, misalnya Telkom atau Jasa Marga setelah ada pesaing mengalami perubahan, tapi yang belum menghadapi pesaing, seperti PJKA atau PLN belum kelihatan karena belum ada perubahan. Masalahnya, jangan sampai BUMN-BUMN ini jadi sarang penghisapan dari politisi.
Sekarang di Latin Amerika, muncul gugatan terhadap perusahaan multinasional yang menghisap, seperti kontrak-kotrak eksplorasi sumberdaya alam yang engga benar. Tapi saya melihat ada strategi proses nasionalisasi ekonomi yang berbeda antara Venezuela dengan Bolivia. Kalau proses nasionalisai ekonomi di Venezuela masih ditandai oleh dominannya peran elite (tentara dan jenderal-jenderal) dalam penguasaan BUMN. Jadi di Venezuela mirip dengan Indonesia masa Orde Baru. Model Venezuela menurut saya jelek. Terbukti Venezuela melorot terus dari segi ranking apa pun. Nah di Bolivia proses nasionalisasi ekonominya berlangsung lebih lugas dan lebih baik, karena pemerintah Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales ingin memperjuangkan keadilan. Karena selama ini, elite di Bolivia bersama perusahaan multinasional menjalin persekutuan yang membuat posisi dan peran negara jadi lemah.
Nah, sekarang di Bolivia terjadi penguatan posisi negara, dimana pemerintahan Evo Morales masih membolehkan perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi, tapi kontraknya ditinjau kembali. Nah itu kan yang tidak berani dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kasus Freeport atau INCO misalnya. Bahkan di INCo itu kasusnya lebih parah dari Freeport.
Padahal konstitusi kita sudah menggariskan secara lugas, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Contoh misalnya, kasus penjualan pengelolaan batu baru Arutmin, KPC, dibeli oleh Bakrie dengan harga sekirat 300 atau 400 juta US dollar, beberapa tahun kemudian dijual 2,5 miliar dollar. Menurut saya, ini engga boleh, karena melanggar konstitusi. Kalau Bakrie sudah tidak mau lagi mengelola, seharusnya pengelolaannya dikembalikan lagi ke negara, biar negara yang melalang. Sehingga kelebihan profit dari hasil penjualan saham Arutmin, negara yang dapat, bukan Bakrie.
Contoh lain, PT. Aneka Tambang yang punya cadangan nikel di Halmahera. Nah kalo nikelnya cuma dieksploitasi jadi biji nikel saja, Cuma menghasilkan net present value (NPP) 3 miliar dollar, tapi kalo nikel itu dijadikan veronikel, maka NPP-nya akan menjadi tujuh kali lipat (sekitar 21 miliar dollar). Nah, kenapa tidak bisa. Karena untuk membakar dari biji nikel menjadi veronikel kan membutuhkan gas. Ironisnya, PT. Aneka Tambang, tidak mendapat pasokan gas. Nah, ini kan berarti pemimpinnya tidak berhasil mendayagunakan sebesar-besarnya resources yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Padahal Gasnya kan milik negara (Perusahaan Gas Negara/PGN). Tapi lebih baik di ekspor, daripada membesarkan PT. Aneka Tambang.
Bagaimana pandangan/pengalaman Anda dalam melihat rekrutmen pemimpin di tingkat lokal maupun nasional yang berlangsung saat ini?
Kenapa, yang karena institusi politiknya tidak jelas! Karena institusi politiklah yang melahirkan kesenjangan apa yang dilakukan politisi dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Institusi politik menghasilkan politisi yang tidak peka terhadap konstituennya, karena tidak ada akuntabilitas politisi kepada konstituennya. Sekalipun politisi itu tidak pernah mengunjungi konstituennya, dia tetap bisa terpilih kembali. Kemudian, sentralisme di dalam politik menyebabkan aspirasi dari bawah tidak pernah sampai ke Jakarta.
Ibu Megawati, misalnya, sulit untuk bisa mendengarkan apa yang terjadi dan bergejolak di bawah, karena lapisan-lapisan di birokrasi partai itu sudah demiki sangat tebalnya. Nah, oleh karena itu persoalannya bukanlah pada penyederhanaan jumlah partai. Cara berpikir yang benar kan seharusnya, bagaimana kita bisa menciptakan sistem politik dan institusi politik yang memungkinkan efektifnya penyerapan aspirasi rakyat. Kalau sekarang kan diskusinya, partai banyak atau sedikit, bukan pada apakah aspirasi rakyat itu dapat ditangkap oleh partai politik secara efektif.
Oleh karena itu, diskusi seharusnya diarahkan bagaimana kita mampu mendesain suatu institusi politik yang memungkinkan aspirasi itu tidak senjang. Nah kalau jawabannya, partai lokal dibolehkan, why not! Toh, partai lokal juga akan melakukan pekerjaan politik di tingkat lokal. Jika terjadi pemilu nasional, partai lokal juga kan pada akhirnya harus berafiliasi dengan partai-partai politik di tingkat nasional. Nah sekarang, coba kalau Anda mau bikin partai baru, susahnya setengah mati, berapa miliar biaya yang Anda butuhkan.
Nah, kita harus menyadari, bahwa partai politik itu adalah pilar utama demokrasi. Dan, kenapa sih kita bikin partai, yah untuk menyederhanakan proses penyerapan aspirasi masyarakat oleh insan-insan politik. Karena, kalau Anda maju jadi gubernur, bupati, atau walikota lewat jalur calon independen, pasti biayanya lebih mahal dari partai politik, wong Anda engga punya infrastruktur. Jadi solusinya adalah menciptakan bukan calon independen sebagai solusi aspirasi rakyat atau tidak, karena calon independen pada hakekatnya bukanlah ancaman, dan tidak boleh dilihat sebagai ancaman. Calon independen adalah emergy exit. Seperti kalau terjadi kebakaran di pesawat, kita tahu jalan keluarnya yang aman. Jadi kalau partainya sudah dablek semua, proses kepemimpinan kita tetap ada jalan keluarnya, yah si calon independen ini. Jadi calon independen hanyalah balancing untuk memecahkan kebuntuan politik, jadi dia itu darurat sifatnya.
Menurut Anda, apa kira-kira yang menjadi hambatan mendasar dari sirkulasi kepemimpinan di negeri ini untuk menghadirkan sosok pemimpin yang bersih, memiliki integritas dan visi yang jelas serta bebas KKN?
Dari sisi sirkulasi elite kita merasakan kan selama ini sumpek, mampet. Jadi kaya udara yang muter-muter di sekitar kita saja, jadi alternatif kepemimpinan cuma ada pada figur Megawati, Wiranto, Gus Dur, atau Akbar Tanjung, karena semua sirkulasi udara mampet, engga ada ventilasi. Saya juga tidak tahu, kenapa sistem politik kita cuma menghasilkan kondisi seperti itu. Makanya, dalam konteks manajemen kepemimpinan daerah relevan yang namanya calon independen itu.
Calon independen itulah yang paling tidak sedikit bisa membuka sirkulasi udara itu agar mengalir secara segar. Karena kalo diserahkan kepada partai yang seperti itu hasilnya. Seperti koalisi menjelang pemilu 2009 misalnya, akan terjadi koalisi partai besar lagi, seperti PDIP dengan Golkar dan PPP, nanti bisa saja melawan SBY dengan Demokratnya plus PKS.
Dalam soal koalisi partai besar ini, kita menyaksikan betapa etika dan fatsoen politik dari politisi kita tidak jelas. Misalnya, seorang menteri yang notabene anak buah presiden, tidak melakukan koalisi tidak dengan presidennya. Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP) melakukan koalisi dengan PDIP, berarti dia sudah tidak percaya dengan presidennya, tapi kenapa juga dia masih mau jadi menteri. Itulah rusaknya etika politik para politisi kita.
Tapi sebenarnya ini karma buat SBY. Karena SBY juga dulu kan anak buah Megawati yang men-chalanges bosnya, Hamzah Haz dan Agum Gumelar men-chalange bosnya. Nah kalau dia mau men-chalanges bosnya, berarti logika politiknya dia menganggap dirinya lebih baik dari bosnya. Harusnya, kalau para menteri itu punya etika politik, dan menganggap dirinya lebih baik dari presidennya, dia harus men-chalanges bosnya dari luar kekuasaan, jadi jangan dari dalam kekuasaan. Rusak dong, siapa yang mau kerja, ini kan namanya pembusukan.
Lalu bagaimana dengan soal birokasi?
Bagi saya, birokrasi fungsi utamanya tidak lebih dari alat eksekutif. Birokrasi pada dasarnya bisa dipengaruhi oleh pemimpinnya. Salah satu keberhasilan dari seorang pemimpin adalah kalau dia berhasil memanfaatkan birokrasi. Birokrasi itu given. Jadi pemimpin harus memiliki direction yang jelas kepada birokrasi, sehingga birokrasi mau mengikuti kebijakan pemimpinnya.
Menteri itu bukan jabatan profesional, tapi jabatan politik. Jadi menteri-menteri yang berasal dari partai politik yang duduk di kabinet harus jelas, jika diajak duduk dalam eksekutif atau duduk dalam pemerintahan, konsekuensi partai si menteri harus mendukung kebijakan pemerintahan di parlemen. Masalahnya, dalam konteks ini terjadi banyak kerancuan, partai si menteri kerapkali terlihat tidak mendukung kebijakan pemerintah. Inilah repotnya sistem pemerintahan kita, parlementer tidak, presidensial juga engga. Karena presiden sendiri gamang, untuk meng-exercise kekuatan dia sebagai presiden yang dipercaya langsung oleh rakyat, jadinya kebijakan presiden terkesan akomodatif terus.
Makanya dalam konteks kepemimpinan di daerah, calon independen bisa membuat mekanisme rekrutmen kepemimpin di daerah bisa lebih baik. Jadi calon independen itu bukan untuk menggembosi partai, dia menjadi faktor pendorong untuk menuju perbaikan mekanisme rekrutmen kepemimpinan yang ada di dalam partai politik. Karena pada dasarnya calon independen itu susah dan lebih mahal biaya politiknya, wong dia engga punya instrumen.
Ada yang bilang gerakan reformasi yang ada sekarang sudah kebablasan, ada yang bilang sudah salah arah. Lalu ke depan, gerakan apa yang efektif dan bisa memunculkan orang-orang yang memiliki track record bersih dan punya integritas supaya bangsa kita bisa keluar dari kemelut multidimensi seperti saat ini?
Ya, awalnya kan disebabkan gerakan reformasi menganggap musuh utamanya adalah Soeharto, kalo saya kan menganggap musuh bangsa ini rezim, karena rezim—bukan Soeharto semata—yang merusak bangsa ini. Nah, kita keburu puas setelah Soeharto jatuh, tapi rezim engga berubah. Jadi yang sekarang berkuasa sebenarnya Orde Baru jilid II. Siapa ketua DPD, Golkar, Ketua DPR, Golkar, Wakil Presiden, Gokkar, BP Migas dikuasai Golkar, di KPU ada Golkarnya, dimana-mana Golkar.
Golkar berkepentingan untuk berkuasa karena dengan berkuasalah kesalahan masa lalu mereka bisa mereka protek. Jadi salah kita sendiri. Harusnya dulu kan Golkar itu partai terlarang. Sepuluh tahun engga boleh ikut pemilu atau dua kali pemilu. Harusnya kan gitu tuntutan reformasi saat itu. Ada punishment yang jelas. Tentu harus melawati proses hukum di pengadilan, yang menunjukkan betapa rezim Golkar di masa Orde Baru itu korup.
Untuk itu, ke depan kita harus menarik garis pemisah yang jelas, antara kekuatan-kekuatan status quo dengan kekuatan-kekuatan baru. Syaratnya, kekuatan-kekuatan yang baru itu harus bersatu. PDIP tadinya kita harapkan bisa menjadi ujung tombak oposisi. Tapi akhirnya kerjasamanya juga sama Golkar.
Lalu, apa kira-kira solusi dari Anda dalam mengatasi krisis kepemimpinan yang berlangsung di Indonesia saat ini?
Intinya, perlu ada mekanisme yang bisa membuat sirkulasi kepemimpinan nasional itu lebih lancar. Kan keterlaluan, kalau bangsa ini cuma mengandalkan pada Gus Dur, Amien Rais, Megawati, Wiranto, Akbar Tandjung. Jadi menurut saya perlu ada mekanisme demokratisasi di dalam partai politik. Jadi seperti terdapat dalam ketentuan KPU, walapun katakanlah tidak ada calon independen, partai harus membuka diri seluas-luasnya terhadap warga negara yang hendak mencalonkan diri dalam pilkada. Dan itu harus disertai dengan berita acara, prosesnya itu dilaksanakan apa tidak. Nah disitu kadang-kadang hukum tidak ditegakkan.
Secara empiris, di dunia ini terbukti, bahwa negara-negara yang institusi politik dan ekonominya baik di masa lalu adalah negara-negara yang sejahtera sekarang. Bangsa kita engga bisa membangun institusi politik dan ekonomi dengan cara eksperimen terus, tapi institusi politiknya jelas, institusi ekonominya jelas. Karena itulah yang akan menjamin adanya kesinambungan pembaruan yang lebih pasti, bukan selera rezim. Nah, institusi politik yang bagus, punya beberapa karakteristik, seperti memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk turut serta dalam proses politik dan proses ekonomi yang seluas-luasnya, dan juga memberikan kekuasaan kepada seluruh individu untuk memiliki faktor/alat produksi, supaya dia tidak sekedar mengandalkan pada tenaga saja. Jadi intinya, kesejahteraan rakyat yang dilandasi oleh kebebasan individu.
Selanjutnya, institusi yang baik juga harus bisa menciptakan kendala, sehingga para elite, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan tidak menjarah atau merampok aset-aset, kekayaan, atau investasi rakyat. Misalnya, kalau monorel jadi, itu kan sebetulnya Bukaka dan kawan-kawannya merampok aset atau kekayaan rakyat, karena nanti rakyat yang akan membayar proyek itu. Kenapa? karena institusi yang mengaturnya buruk. Jalan tol yang naik adalah ruas-ruas yang dikuasai oleh penguasa. Contoh lain, Bakrie misalnya, tidak punya infrastruktur, tapi bisa dapat fasilitas SLI, itu kan fakta-fakta dari institusi politik dan ekonominya buruk.
Nah, untuk membangun institusi yang baik, hulunya adalah konstitusi. Jadi harus ada pembaruan konstitusi. Konstitusi kita sifatnya sementara. Bung Karno sendiri mengatakan UUD 45 itu sifatnya sementara, prasyarat untuk kita bisa merdeka aja. Nanti kalau sudah pemilu, kita akan menghasilkan MPR/DPR yang akan membuat konstitusi baru. Dan konstitusi kita jelas-jelas menciptakan ambigu-ambigu, misalnya sistem pemerintah kita apakah parlementer atau presidensial, bikameral atau unikameral, peran negara dengan peran pasar engga jelas. Ini semua yang bikin kacau.
Intinya, konstitusi kita telah menggariskan tujuan kita bernegara kita apa, tapi untuk mencapai itu tidak ditunjukkan secara eksplisit dalam konstitusi kita kendaraan apa yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan itu, ya engga sampai-sampai. Nah, kalau konstitusinya sudah beres, baru aturan perundangan yang lainnya bisa beres. Kalau kita saksikan sekarang makin banyak proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi, itu sendirinya indikasi apa sih, kan anomali. Jadi yang salah undang-undangnya apa konstitusinya. Kemungkinan besar konstitusinya yang rancu. Maka, kalau pun kita akan kembali melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945, maka amandemenya harus bersifat komprehensif, bukan yang diusulkan untuk melakukan amandemen karena ada kepentingan elite yang terganggu disana.
Ok, untuk lebih demokratis, dibuatlah aturan tentang DPD misalnya, tapi DPD-nya dikebiri, kan lucu. Peran negara juga sampai detik ini engga jelas. Masa peran negara sampai saat ini masih jadi “tukang kebun” dengan PTP-nya, masa negara bersaing dengan warga negaranya, kan engga mungkin.
Konstitusi itu sebenarnya ngurusin apa sih? Kan untuk melindungai bangsa dan tumpah darah, bagaimana menjamin hak-hak individu warga negara, bagaimana memobilsasi seluruh resources yang ada pada negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kemudian apa peran negara, peran pasar, dan apa peran pasar. Menurut saya tujuan atau esensi bernegara kita juga harus direvisi. Bukan jargon adil makmur-gemah ripah loh jinawi. Tapi tujuan bernegara adalah untuk mencapai kebahagiaan (happiness) bagi seluruh rakyat. Lalu, kendaraan untuk mencapai tujuan. Masalahnya, sampai sekarang kita belum mendefinisikan kendaraan, yakni ideologi sebagai falsafah dasar kehidupan kita untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yang mencapai kebahagiaan bagi semua.
Kita tidak mendesain warga bangsa untuk mencapai hakikat dari kehidupan ini, yakni kebahagiaan. Padahal itulah hakekat hidup menurut Aristoteles, menurut Gandhi, menurut Bentham.
Tidak ada negara yang maju di dunia ini, yang tidak gencar melakukan investasi pendidikan dan penelitian. Di negeri ini misalnya, biaya penelitian cuma dianggarkan 300 juta dollar dengan penduduk 222 juta. Sementara Malaysia, menganggarkan penelitian sebesar 1,1 miliar dollar dengan penduduk 17 juta, Singapura dengan jumlah penduduk 3,5 juta menganggarkan penelitian sebesar 2,2 miliar dollar, Cina dengan jumlah penduduk 2 milyar orang menganggarkan untuk biaya penelitian 72 miliar dollar per tahun.
Di Indonesia, lebih sudah Cuma 300 juta dollar, 84,5 persennya dilakukan oleh negara (umumnya proyek penelitian dikerjakan oleh departemen pemerintah), sementara oleh swasta cuma 14,3 persen. Sementara di Cina, 62 persen dilakukan oleh swasta dan negaranya cuma 38 persen. Akhirnya apa, kita jadi negara pembajak, kerena kita lemah dalam penelitian-penelitian yang produktif dan inovatif di bidang sains dan teknologi. Itulah yang mendukung daya saing bangsa, karena selalu ada pembaruan produk, manajemen makin baik, pemerintahnya jadi makin efisien.
Nah, semua itu harus dilandasi oleh cara berpikir yang benar, yaitu ideologi. Ideologi kita apa? Kalau kita telusuri dari goals konstitusi kita, sebenarnya ideologi bangsa ini adalah demokrasi sosial dan sistem pasar sosial. Tapi kenyataannya, perilaku kita liberal pada level yang primitif, kapitalisme jaman kuda gigit besi.
Jadi kita harus memulai dari ideologi. Ideologi itulah kendaraan yang masih missing di negeri ini. Nah masalanya, ada salah satu Menko kita pada saat bertemu Joseph Stiglizt dengan lugas menyatakan “i don’t care ideology”! Saya engga peduli ideologi apa, kata sang Menko, yang penting saya bisa mencapai tujuan. Statement ini jelas aneh, tidak mungkin sebuah kebijakan dibuat tanpa landasan ideologi yang jelas. Karena jika Anda menggunakan ideologi kapitalisme primitif dalam kebijakan ekonomi, niscaya akan menghasilkan ketimpangan dalam kehidupan ekonomi negara, itu pasti.
Pembukaan UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa tujuan kita bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konteks kesejahteraan sosial, Bung Karno menegaskan: (1) tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka, (2) tidak didominasi kaum kapitalis, dan (3) kesejahteraan yang merata keseluruh rakyatnya, bukan kesejahteraan orang seorang.
Jelas kiranya, landasan ideologi kita bukanlah libertarian, melainkan demokrasi sosial. Dalam kehidupan berekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit antipasar, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Justru sebaliknya, semakin besar peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk menjamin kesejahteraan yang berkeadilan.
Jadi persoalan yang harus kita rumuskan bukan terletak pada pendikotomian peran pasar versus peran negara, melainkan bagaimana melakukan reorientasi peran negara secara dinamis sejalan dengan tuntutan perubahan yang terus berlangsung di lingkungan internal dan eksternal. Bagaimana peran negara bisa optimal mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Sejauh ini, kita belum melihat peta jalan yang disiapkan oleh para pemimpin kita untuk mengoptimalkan negara sebagai sarana yang sungguh-sungguh bisa berpihak para rakyatnya, dan mampu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
(Azman dan Launa)

Tidak ada komentar: