Kamis, 11 Desember 2008

Optimalisasi Peran Pemerintah Dalam Menjaga Keamanan Internal


M. Azman Fajar,MA*


“Inti dari pembelajaran ketahanan nasional adalah bahwa suatu bangsa atau negara hanya dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya manakala bangsa tersebut memilliki kemampuan untuk menghadapi tantangan. Juga pada hakikatnya ketahanan nasional merupakan konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan kesejahtraan dan keamanan dalam kehidupan nasional, dimna perwujudannya harus menggunkan pendekatan kesejah teraan dan keamanan” (Pamudji, 1985).



I. Latar Belakang

Indonesia adalah sebuah negara-bangsa berciri kepulauan (archipellagic state) dengan 17.508 pulau. Letak Indonesia secara geopolitik sangat strategis, karena berada pada posisi silang dunia (antara benua Asia dan Australia dan antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik). Keseluruhan pulau-pulau yang berada dalam rangkaian zamrud khatulistiwa tersebut dihubungkan oleh laut-laut dan selat-selat di sepanjang border line Nusantara sebagai wilayah yurisdiksi nasional yang membentuk sebuah negara kepulauan dengan panjang 5.110 Km2 dan lebar 1.888 Km2, luas perairan 5.877.879 Km2, luas laut teritorial 297.570 Km2, perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) 695.422 Km2, panjang pantai 79.610 Km2, dan luas daratannya 2.001.044 Km2 (Pussurta TNI, 2001).

Perbatasan negara merupakan manifestasi kedaulatan wilayah suatu negara, yang memiliki arti penting dan peran strategis dalam penentuan batas kedaulatan, keutuhan, dan keamanan wilayah negara serta pemanfaatan sumber kekayaan alam negara. Secara geografis Indonesia berbatasan langsung dengan banyak negara, baik di darat maupun laut. Di darat, Indonesia berbatasan dengan Malaysia (Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Serawak dan Sabah), Papua dengan Papua New Guinea, dan Nusa Tenggara Timur dengan Timor Leste. Sementara wilayah laut, Indonesia berbatasan langsung dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Papua New Guinea, Australia, dan Timor Leste.


Sebagai suatu bangsa yang masih relative muda dalam hitungan abad Indonesia, Indonesia adalah Negara yang diberkahi sumber daya alam yang melimpah, disatu sisi hal ini merupakan suatu berkah namun disisi lain anugrah tesebut juga merupakan suatu kutukan yang jika tidak dikelola secara baik akan menjadi sumber petaka dan keretakan bahkan kehancuran akibat salah kelola dan ketidak adilan antara daerah yang di karunia kekayaan melimpah dan daerah yang terpaksa menderita setelah terkuras habis oleh eksploitasi tanpa menyisakan kemakmuran bagi masyarakat sekitarnya.
Lantas tentu ada langkah strategis yang harus ditempuh agar segala sesuatu yang merupakan ancaman potensial yang berasal dari dalam negeri bisa di minimalisir resikonya sebagaimana kita pada saat ini gigih berjuang demi mana bangsa terhadap ancaman globalisasi dan perangkat perrangkatnya yang mencoba menyetir Indonesia agar tunduk pada kekuatan Internasional dan menjadi bangsa yang secara geografis bisa di perlakukan seperti apa yang pernah dilakukan negara maju terhadap eks Uni Sovyet.

II. Persoalan keamanan internal


Kondisi yang diungkapkan diatas adalah hal yang bisa dikategorikan sebagai pra kondisi bagi instabilitas keamanan internal, hal ini sedikit banyak merupakan hal yang paling krusial bagi Indonesia. Secara garis besar yang bisa digolongkan sebagai pra kondisi dan sekaligus pemicu instabilitas internal adalah

1. Letak Geografis Negara
Setiap negara akan menjadikan dirinya sebagai titik pusat dari lingkungannya sehingga terbentuklah posisi silang yang berpusat pada negara tersebut. Indonesia berada pada posisi silang dunia antar dua benua dan dua samudra. Dengan posisi tersebut Indonesia berada pada jalur lalu lintas perdagangan dunia.
Di samping letaknya pada posisi silang, Indonesia secar geografi berbentuknegara kepulauan dengan jumlah keseluruhan hingga 17.508 pulau. Kondisi terebut di ats tentunya akan tetap membawa dampak tersendiri, baik maupun buruk. Maka untuk menyikapinya, negara harus menerapkan geo politiknya. Yaitu kebijakan yang memanfaatkan ruang.
2. Kekayaan Alam Indonesia
Merupakan segala sumber dan potensi alam yang terdapat di darat, laut, maupun udara yang berada di wilayah kekuasaan negara. Persebaran kekayaan alam ini tidaklah merata satu sama lain. Oleh karenanya munculah sentimentil ketidak adailan yang dirasakan oleh masyarakt pada suatu wilayah tertentu bahkan menyebabkan ketergantungan terhadap negara lain. Dalam kondisi seprti ini bla kekayaan alam suatu negara tidak dimanfatkan secara baik, akan menimbulkan campur tangan negara lain dalam pemanfaatannya.
Maka dari itu sumber kekayaan alam harus dikelola dengan baik berdasarkan asaz optimal, lestari dan kompetitif. Optimal berarti kekayaan alam harus dikelola semaksimal mungkin guna melangsungkan pembangunan dan melakukan pemerataan ke penjuru tanah air.

3. Keadaan dan Kemampuan Penduduk
Ketahanan nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi kependudukan. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan ketahanan nasional kita perlu melihat persoalan apa saja yang ada dalam kependudukan di Indonesia. Beberapa persoalan tersebut antara lain :
• Pertumbuhan dan jumlah penduduk yang tinggi.
• Persebaran penduduk yang tidak merata
• Banyaknya pengangguran akibat terbatasnya lapangan kerja
• Kualitas penduduk rendah, baik dari segi kualitas maupun keterampilan.
• Komposisi penduduk yang didominasi usia muda.
Setelah mengetahui beberapa problema di atas maka selanjutnya kita dapat memiliki gambaran, tentang apa dan bagaimana penyelesaian masalah tersebut.

Secara algebrais, dapat dipaparkan berupa rumus yang berlaku bagi negara mana pun, yang variabelnya dapat dikuantifikasi guna diketahui derajat ketahanan negara yang dicerminkannya dan dengan begitu bisa dibandingkan satu sama lain. Rumus tersebut, K=(U+N+E+M)x(t+c+s). K, adalah ketahanan nasional.U, unsur masif, hasil gabungan (bobot) wilayah dan penduduk. N, system nasional, tata kerja dan tata cara negara demi mencapai suatu tujuan, yang mencerminkan derajat kemampuannya, kematangannya dalam berorganisasi. E, kemampuan ekonomi. M, kemampuan militer. Selanjutnya t adalah tekad nasional, dalam dirinya merupakan aspek mental dari pembentukan negara-bangsa. Koefisien c mewakili kecerdasan penduduk, mencerminkan tingkat penguasaan iptek. Sedangkan s, strategi nasional, unsur esensial dari pemikiran human, lahir dari kesadaran untuk menghadapi bencana mental-biologis, baik yang datang dari alam maupun yang berasal dari manusia.

Pencegahan instabilitas internal pada dasarnya harus dilakukan oleh pemerintah secara perusasif, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan panacea yang bisa menjadi penjaga keutuhan NKRI. Persoalan yang terjadi selama ini jika dicermati sebenarnya tidak lain dari akibat aplikasi sistem trickle down effect dimana masyarakat hanya menerima sisa pembangunan tanpa merasakan adanya kesempatan unutk bersama menjadi sejahtera dengan saudaranya yang berasal dari kalangan tertentu atau lebih ekstrem dari etnis tertentu. Manakala persoalan ekonomi yang mengetengahkan konsep pemerataan dikembangkan dengan sungguh-sungguh, maka kemiskinan yang menjadi penyebab utam dari gejolak internal dapat di kurangi secara maksimal

Dalam kaitannya dengan kinerja aparat dalam hal ini TNI dan POLRI, paparan diatas sebenarnya adalah sangat relevan banhwa seseungguhnya Indonesia menganut sistem pertahanan nirmiliter karena konsep dasar pertahanan Indonesia mengacu pada sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Pasal 30 Ayat 2 UUD 1945 misalnya, menyebutkan: “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara RI sebagai kekuatan utama, dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Pasal 8 Ayat 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara berbunyi: “Komponen pendukung terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, dan prasarana nasional yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan”. Pasal 20 Ayat 2 UU No. 3/2002 juga menyebutkan “Segala sumber nasional berupa sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, nilai-nilai, teknologi, dan dana dapat didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan pertahanan negara yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah”.

III. Kondisi Ideal dalam Ketahanan Internal
1. Aspek Ideologi
Ketahanan dalam aspek ideologi ditentukan oleh keadan ideologi itu sendiri. Tingkat ketahanan di bidang ideologi akan tampak dari dimensi realitas; terkait apakah ideologi tersebut dapat menggambarkn realita sosial budaya masyarakat pendukungnya, dimensi Idealitas terkait apakah ideologi tersebut dapat meyakinkan masyrakat untuk mencapai cita-cita bersamanya dan fleksibilitas; terkait kemampuan ideologi tersebut untuk menampung dinamika perkembangan masyarakatnya. Dengan mengetahui dimensi tersebut maka kedepan kita bisa menarik suatu kesimpulan awal apakah Pancasila sebagai ideologi telah mampu menjadi bridging terhadap persoalan Ketahanan Nasional ditengah gelombang yang saat ini cenderung emoh negara dan mengetengahkan secara gigih bahwa hanya liberalisme dan individualitas lah yang akan mampu menyalamatkan diri setiap orang.
2. Aspek Politik
Ketahanan dalam aspek politik akan terwujud oleh adanya indikator-indikator sebagai berikut :
• Pemerintah memiliki legitimsi yang kuat dan disukung oleh rakyatnya karena diangkat melalui pemilihan yang demokratis.
• Kebijakan pemerintah yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sehingga segala bentuk penolakan dari msyarakat sangat kecil.
• Masyarakat memiliki kesadaran politik yang tinggi. Yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
• Penegakan supremasi hukum sebagai pengendali bagi pengajuan tuntutan, proses konversi tuntutan bagi kebijakan pemerintah
Dengan terpenuhinya indikator terebut akan terwujud kehidupan politik yang dinamis dan mampu mendukung peningktan ketahanan nasional.

3. Aspek Ekonomi
Menurut Sudibyo (1994) Ketahanan nasional di bidang ekonomi memiliki beberapa dimensi, antra lain:
- Stabilitas Ekonomi, yang diindikatori oleh tingkat inflasi, kurs rupiah dan tingkat bunga.
- Tingkat integrasi ekonomi.
Semakin terintgrasi antar sektor – sektor ekonomi yang ada, maka kuatlah ketahanan nasionl kita.
- Ketahanan ekonomi terhadap guncangan dari luar sistem
- Keunggulan kompetitif produk ekonomi nasional.
- Besarnya ekonomi nasional.
Semakin besar akan semakin kokoh.
4. Aspek Sosial Budaya
Perlu diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang berpenduduk sangat heterogen, serta memiliki potensi untuk disintergtrasi. Ancaman masuknya budaya asing juga sangat kuat. Oleh karenanya ketahanan nasional dalam aspek ini bisa dikatakan kuat bila masyarakat mampu menjaga integrasi nasional dan menyaring setiap budaya asing yang masuk.
5. Aspek Hankam
Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak wilayah yang berhutan-hutan serta pedesaan. Maka sangatlah sulit untuk melakukan sweeping pertahanan di wilayah Indonesia.
Oleh karenanya ketahanan nasional dalam bidang ini akan kuat bila kekutan di tubuh angkatan bersenjata kuat, dan didukung oleh partisipasi dari masyarakat untuk turut terlibat dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.



IV.Penutup
Sesungguhnya keamanan internal yang berkorelasi positif dengan kemajuan dan kelangsungan hidup suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh sifat-sifat ketahanan bangsa itu sendiri. Sebuah perbandingan antara ketahanan nasional Indonesia dengan Singapura saja, maka ada beberapa hal yang membuat kita harus lebih keras dalam bekerja. Menggunaan rumus Aljabar diatas [K=(U+N+E+M)x(t+c+s)] maka perhitungan yang bisa disajikan adalah sebagai berikut: Bobot faktor-faktor substantif (U,N,E,M), dapat dinyatakan dengan angka indeks antara 0 dan 100. Angka 0 berarti sama sekali tidak berkemampuan, angka 100 berkemampuan relatif sempurna. Untuk ketiga koefisien perlipatgandaan, (t,c,s), angka indeks bergerak antara 0 dan 1. Angka 0 mencerminkan bangsa yang terpecah-belah, tidak mengetahui apa pun dan tanpa strategi. Sedangkan angka 1 menggambarkan bangsa yang teguh bersatu-padu, luar biasa cerdas dan berstrategi holistis yang up-to-date. Berarti bila setiap faktor substantif adalah prima, masing-masing bernilai 100, derajat ketahanannya masih bisa ditingkatkan tiga kali lipat bila aspek mental dari pembentukan bangsa t dan kualitas manusia c serta s turut diperhitungkan, dan diumpamakan sempurna, maka K=400x3=1200. Sebaliknya bila negara-bangsa terus-menerus ribut dilanda konflik intern, sangat terbelakang, dan diliputi kebingungan strategis, nilai dari (t+c+s) dapat menjadi 0. Bila demikian betapa pun maksimumnya nilai (U+N+E+M), nilai tersebut menjadi nihil sama sekali karena 400x0=0.
Derajat ketahanan Indonesia jauh dari meyakinkan, mengingat K=(40+60+50+70)x(0,8+0,6+0,7). Nilai riil U sangat jauh di bawah nilai potensialnya. Jelas betapa suatu negeri bisa saja bernilai intrinsik tinggi, yaitu cukup kaya, tanpa mampu menjadi kuat. Hal pahit itu tercermin pula pada nilai rendah dari faktor E. Kekayaan riil sesuatu negeri adalah fungsi dari produktivitasnya dan nilai komersial produksinya berkat pelibatan iptek. Untuk Indonesia masih ada sebab lain lagi, yaitu keengganan pemimpinnya mengakui keunggulan entrepreneurship sekelompok warganya yang dianggap "tidak asli". Nilai U dan E yang rendah semakin diperkuat nilai c yang juga rendah karena pelaksanaan pendidikan yang amburadul. Kenaikan kuantitas manusianya tidak diimbangi kenaikan kualitas. Maka yang mendorong kita waswas berkepanjangan adalah kenyataan bahwa pemanfaatan alam kita yang tidak terkendali.
Singapura , Gambaran momentum dari derajat ketahanan Singapura adalah kira-kira K=(20+90+90+40)x (0,4+0,9+0,7). Nilai dari U relatif rendah karena kodrat alaminya. Namun hal itu sangat terangkat oleh nilai c yang cukup tinggi berkat pendidikan yang terarah dan konsisten. Nilai c yang tinggi ini mendongkrak pula nilai N dan E. Nilai N yang tinggi dimungkinkan pula oleh jumlah penduduknya yang relatif sedikit hingga memudahkan penanganan masalahnya. Sebaliknya justru nilai M dari ketahanan nasionalnya cukup rendah. Ia tidak punya hinterland sebagai basis pengunduran diri bila terjadi peperangan. Peralatan militernya memang relatif memadai dan modern, tetapi manusianya tidak punya pengalaman tempur sejati
Idealnya ketahanan nasional mempunyai sifat sebagai berikut:
1. Mandiri
Bahwa ketahanan nasional bersifat percaya pada kemampun dan kekuatan sendiri. Juga memiliki prinsip tidak mudah menyerah serta bertumpu pada identitas, integritas dan kepribadian bangsa.
Kemandirian inilah yang harus kita pegang, sebagai upaya untuk melepaskan diri dari segala ketergantungan terhadap negara lain.
2. Dinamis
Ketahanan nasional tidaklah stagnan, melainkan tergantung pada situasi dan kondisi bangsa dan negara serta kondisi lingkungan strategisnya. Oleh karenanya upaya peningkatan ketahanan nasional harus selalu diorientasikan ke masa depan dan ke arah yang lebih baik.
3. Berwibawa
Keberhasilan kita dalam peningkatan ketahanan nasional secara tidak langsung pasti akan menguatkan posisi Indonesia dalam dunia internasional. Keberadaan Indonesia selalu diperhitungkan. Dengan kata lain, semakin baik ketahanan nasional, kewibawaan negara ini juga semakin tinggi.



4. Konsultasi dan Kerjasama
Konsep ketahanan nasional tidaklah menggunakan sikap konfrontasi dan egois serta menggunakan kekuatan fisik semata. Tetapi lebih kepada sikap konsultatif dan mau untuk bekerja sama.

Dengan demikian, persoalan keamanan internal yang merupakan bagian yang tidak terpisah sama sekali dengan ketahanan nasionalnya akan bisa di capai dan apabila semua sendi yang merupakan organ pendukung bisa bekerja secara terpadu dan di dukung oleh regulasi yang baik maka persoalan keamanan internal merupakan hal yang bisa diselesaikan secara baik.

*Penulis adalah Pendiri INSTEAD, Makalah disajikan untuk memperkaya referensi pada Rakertas Dewan Ketahanan Nasional Jakarta 20 -22 Februari 2008

Rabu, 03 Desember 2008

Selasa, 02 Desember 2008

Wawancara dengan Faisal Basri soal Kepemimpinan


Pemimpin jangan durhaka pada bangsanya

Faisal Basri adalah sosok pemimpin muda yang kuat dan mempunyai karaktek dalam berideologi, baik sebagai ekonom maupun sebagai salah satu agen perubahan di Indonesia.
Ditemui secara marathon di sela-sela kesibukan dalam mendiseminasikan gagasan melalui seminar dan kesibukan mengajar di universitas, redaksi kami berhasil melakukan wawancara di dua tempat yang berbeda, Hotel Le Meredien dan ruang rapat Irsa tempat Faisal Basri beraktivitas sehari-hari. Berikut petikan wawancara tentang kepemimpinan.

Bagaimana menurut Anda kepemimpinan yang ideal untuk situasi Indonesia saat ini?

Berbicara mengenai kepemimpinan yang ideal, mungkin kita bisa memulainya dari fungsi kepemimpinan itu sendiri. Menurut hemat saya, fungsi kepemimpinan adalah kemampuan seorang pemimpin memobilisasi seluruh resources yang ada, sumberdaya yang kita miliki, untuk mencapai satu tujuan secara efektif.
Seperti kita ketahui, tujuan bangsa kita kan antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Itu adalah goals bangsa kita. untuk membawa bangsa ini mendekat ke goals-nya, tanpa zig zag. Sumber daya manusia dan sumber daya alam. Dan kemampuan meraciknya untuk mencapai tujuan yang kita harapkan itu. Dari segi itu, pemimpin juga harus punya komitmen, dalam arti kemampuan memobilisasi sumber daya yang dimiliki bangsanya, di samping kemampuan persuasif pada kelompok-kelompok kepentingan yang ada, dan mewujudkan kebahagiaan buat seluruh rakyatnya.
Seorang pemimpin harus tahu jalan mencapainya dan kendaraan apa yang dia pakai untuk mencapai tujuan itu. Yang kita butuhkan adalah pemimpin yang bisa membawa seluruh penumpang di kendaraan itu mencapai tujuan, dan menjamin agar tujuan-tujuan itu selalu terjaga atau berada dalam track-nya yang benar. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa memobilisasi sumberdaya dan mengarahkan ke tujuan-tujuan yang lebih tinggi dengan waktu yang lebih cepat. Capaian-capaian yang lebih tinggi dan lebih cepat yang diupayakan oleh seorang pemimpin harus diarahkan untuk membawa tujuan bangsa ini tetap berada dalam track-nya. Itulah indikator dari efektifitas kepemimpinan.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu membangun institusi sebagai tracknya. Tracknya adalah peranan institusi dalam artian semua itu harus harus dijabarkan melalui penguatan institusi. Karena pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menjabarkan tujuan-tujuan bernegara melalui penguatan peran institusi tadi. Artinya, ketika dia sudah tidak memerintah kebijakannya bisa dilanjutkan.
Karena pemimpin yang baik adalah ketika ia sudah tidak memerintah institusinya harus jalan terus. Instutusi yang baik adalah yang baik harus didasari oleh ideologi. Oleh karena itu seorang pemimpin harus punya ideologi. Ia harus patuh, tunduk, dan taat pada ideologi yang ditetapkan oleh bangsanya. Apa ideologinya. Ideologi politiknya adalah demokrasi sosial, ideologi ekonominya adalah ekonomi pasar sosial. Nah kalau pemimpin itu membawa ideologi bangsa itu ke arah ideologi kapitalisme-neoliberalisme, artinya dia pemimpin yang durhaka kepada bangsanya.

Menurut Anda, apa saja kriteria yang harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia saat ini?
Kriteria pertama seorang pemimpin adalah, ia harus taat asas pada landasan ideologinya. Ia harus orang yang memiliki keyakinan (belief), seorang yang memiliki keyakinan yang penuh tanpa pamrih (one man with it belief, it would be thousand without an interest). Orang yang punya belief yang paling penting, dia yakin landasan ideologinya benar dan bisa dijadikan kendaraan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.
Kedua, ia seorang yang visioner. Dia juga bisa membawa rakyatnya untuk menghadapi tantangan-tantangan, bukan hanya yang ada sekarang, akan tetapi tantangan yang akan dihadapi bangsanya di masa depan. Ia harus punya kemampuan untuk melakukan pengayaan (enrichment) dari orang-orang yang dipimpinnya untuk melakukan peningkatan kapasitas menghadapi perubahan-perubahan yang dinamis. Jadi pemimpin itu menyiapkan bangsanya bukan untuk sekedar menghadapi masalah sekarang, tapi juga berbagai bentuk tantangan yang akan terjadi di masa depan.
Ketiga, dalam konteks Indonesia, karena situasi sosio-kultural bangsa kita yang sangat heterogen, pemimpin itu harus bersifat inklusif, karena pemimpin yang inklusiflah yang bisa mengajak seluruh rakyat yang bebeda suku, bangsa, agama, latar belakang, dan adat isitiadat itu berjalan sama-sama dalam satu kendaraan untuk mencapai tujuan bangsa, tidak ada yang tercecer.
Keempat, meletakkan dasar-dasar pijakan bagi bangsa ini untuk terus maju dan berkembang ke depan, sehingga dia tidak berorientasi semata-mata pada hasilnya sekarang, karena pemimpin itu adalah pada umumnya, hasil nyata yang dia upayakan baru kelihatan sepuluh-lima belas tahun setelah dia tidak lagi berkuasa. Jadi pemimpin yang baik tidak boleh bersikap, ah …. yang penting pokoknya saya bikin aja, saya genjot sekarang, supaya masyarakat memilih saya kembali.
Sementara yang kelima, pemimpin itu harus mampu melahirkan kader-kader pemimpin yang lebih banyak dan memiliki kemampuan yang lebih baik dari dia.
Menurut Anda, konsep dan strategi kebijakan seperti apa yang harus dimiliki oleh pemimpin Indonesia guna menyelesaikan krisis multidimensi yang dihadapi saat ini?
Sebelum kita bicara konsep dan strategi kebijakan, saya terlebih dahulu ingin mengemukakan persoalan institusi, karena di Indonesia pengertian institusi ini banyak disamakan dengan agensi. Kalau agensi itu kan pemerintahan, departemen, atau dengan kata lain government agency.
Sementara insitusi itu berisi norma, value, peraturan, undang-undang sampai konstitusi yang diyakini secara bersama oleh bangsa itu sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan. Instutusi adalah sarana yang meng-create tata aturan, yang meng-create kepastian bagi siapa pun sehingga orang tahu kalau dia berbuat apa dia akan mennghadapi atau mendapat konsekuensi apa.
Bangsa ini sesungguhnya telah meletakkan tujuannya dengan jelas, yakni melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya. Tapi, kita tidak pernah kunjung secara eksplisit, tegas, lugas, memilih kendaraan untuk mencapai tujuan tadi. Jadi, ya bingung terus. Kan untuk mencapai tujuan harus menggunakan kendaraan. Nah akar soalnya, ada di undang-undang dasar kita yang rancu. Kenapa rancu, karena undang-undang kita disusun bersifat sementara. Kata Bung Karno, nanti kalau sudah pemilu, hasil pemilu itu akan menghasilkan MPR/DPR yang akan bersidang untuk membuat konstitusi baru yang komprehensif.
Masalahnya, sampai sekarang kita tidak pernah membangun konstitusi baru yang komprehensif itu. Sudah engga pernah membangun, kemudian tiba-tiba diamandemen dengan cara engga karu-karuan, sehingga banyak menimbulkan kerancuan. Lihat saja sistem pemerintahan kita sekarang, presidensil engga, parlementer engga, federalisme engga, sentralisasi engga. Bikameral ada, tapi kenyataannya masih unikameral. Peran negara dan peran pasar kacau. Inilah yang membuat segala sesuatunya jadi rancu.
Karena kita tidak pernah tegas merumuskan demokrasi kita seperti apa? Katanya demokrasi Pancasila, tapi juga tidak pernah didefinisikan secara jelas. Nah ini semua yang menimbulkan kerancuan. Kita disebut liberal engga mau, tapi kenyataannya berbagai kebijakan kita amat liberal. Ini yang bikin kita selalu silang sengketa, berpolemik, dan membuat kita lelah. Ketika digulirkan kebijakan privatisasi rame, tarif tol naik rame, semua rame, pemerintah kita bingung karena tidak punya pijakan.
Sebagai bangsa, kita menghadapi hambatan kelembagaan yang cukup serius. Sejarah menunjukkan, negara-negara yang maju sekarang adalah negara-negara yang memiliki kelembagaan politik dan kelembagaan ekonomi yang baik di masa lalu. Artinya, bisa saya katakan kelembagaan politik dan kelembagaan ekonomi yang baik di Indonesia sekarang lah yang akan menjamin Indonesia maju di masa yang akan datang. Kalo kita potret kelembagaan Indonesia sekarang kan kocar kacir. Sehingga banyak orang di negeri ini suka-suka aja bikin visi, karena apa, karena negara ini memang kacau kelembagaannya, jadi kaya orang ngigau.
Bagaimana Anda melihat contoh kepemimpinan negara-negara berkembang lain (seperti di negara-negara kawasan Latin Amerika) dalam menyelesaikan persoalan kepemimpinan?

Secara historis dan sosial, di Amerika Latin itu, setelah merdeka, perusahaan multinasional masih berperan sangat kuat, berkolaborasi dengan elite lokal, yang pada umumnya adalah indo, yang asal-usulnya berasal dari keturunan Spanyol atau Portugis. Nah, kalo dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan itu perusahaan-perusahaan asing yang hampir seluruhnya peninggalan Belanda itu dinasionalisasi, ditransformasikan ke dalam BUMN, seperti PJKA, Telkom, PTP, dan sebagainya. Sehingga konteksnya, kalau di Latin Amerika itu diametral antara kepentingan publik dan kepentingan perusahaan multinasional, kalau di Indonesia BUMN. Jadi terkesan berontak melawan negara. Nah, berontak melawan negara subversi namanya, jaman pak Harto dulu. Dan kalo kita perhatikan, karakter BUMN ini sama seperti perusahaan multinasional, Pertamina misalnya tidak memiliki kontribusi banyak kepada masyarakat, PLN cuma melistriki empat puluh lima persen penduduk, Telkom hanya melayani empat persen (fix line) dari jumlah penduduk, PTP juga engga ada manfaatnya buat rakyat. Tapi di Indonesia sosok yang muncul adalah negara. Jadi solusinya bukan berarti BUMN sebagai perusahaan milik negara harus di privatisasi. Kalau privatisasi jatuhnya ke tangan Aburizal Bakrie atau ke Jusuf Kalla kan sama saja bohong.
Jadi bagaimana menciptakan suatu iklim persaingan yang memungkinkan BUMN-BUMN itu tergerak untuk berubah. Dan terbukti kan, misalnya Telkom atau Jasa Marga setelah ada pesaing mengalami perubahan, tapi yang belum menghadapi pesaing, seperti PJKA atau PLN belum kelihatan karena belum ada perubahan. Masalahnya, jangan sampai BUMN-BUMN ini jadi sarang penghisapan dari politisi.
Sekarang di Latin Amerika, muncul gugatan terhadap perusahaan multinasional yang menghisap, seperti kontrak-kotrak eksplorasi sumberdaya alam yang engga benar. Tapi saya melihat ada strategi proses nasionalisasi ekonomi yang berbeda antara Venezuela dengan Bolivia. Kalau proses nasionalisai ekonomi di Venezuela masih ditandai oleh dominannya peran elite (tentara dan jenderal-jenderal) dalam penguasaan BUMN. Jadi di Venezuela mirip dengan Indonesia masa Orde Baru. Model Venezuela menurut saya jelek. Terbukti Venezuela melorot terus dari segi ranking apa pun. Nah di Bolivia proses nasionalisasi ekonominya berlangsung lebih lugas dan lebih baik, karena pemerintah Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales ingin memperjuangkan keadilan. Karena selama ini, elite di Bolivia bersama perusahaan multinasional menjalin persekutuan yang membuat posisi dan peran negara jadi lemah.
Nah, sekarang di Bolivia terjadi penguatan posisi negara, dimana pemerintahan Evo Morales masih membolehkan perusahaan-perusahaan multinasional beroperasi, tapi kontraknya ditinjau kembali. Nah itu kan yang tidak berani dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam kasus Freeport atau INCO misalnya. Bahkan di INCo itu kasusnya lebih parah dari Freeport.
Padahal konstitusi kita sudah menggariskan secara lugas, bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Contoh misalnya, kasus penjualan pengelolaan batu baru Arutmin, KPC, dibeli oleh Bakrie dengan harga sekirat 300 atau 400 juta US dollar, beberapa tahun kemudian dijual 2,5 miliar dollar. Menurut saya, ini engga boleh, karena melanggar konstitusi. Kalau Bakrie sudah tidak mau lagi mengelola, seharusnya pengelolaannya dikembalikan lagi ke negara, biar negara yang melalang. Sehingga kelebihan profit dari hasil penjualan saham Arutmin, negara yang dapat, bukan Bakrie.
Contoh lain, PT. Aneka Tambang yang punya cadangan nikel di Halmahera. Nah kalo nikelnya cuma dieksploitasi jadi biji nikel saja, Cuma menghasilkan net present value (NPP) 3 miliar dollar, tapi kalo nikel itu dijadikan veronikel, maka NPP-nya akan menjadi tujuh kali lipat (sekitar 21 miliar dollar). Nah, kenapa tidak bisa. Karena untuk membakar dari biji nikel menjadi veronikel kan membutuhkan gas. Ironisnya, PT. Aneka Tambang, tidak mendapat pasokan gas. Nah, ini kan berarti pemimpinnya tidak berhasil mendayagunakan sebesar-besarnya resources yang ada untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Padahal Gasnya kan milik negara (Perusahaan Gas Negara/PGN). Tapi lebih baik di ekspor, daripada membesarkan PT. Aneka Tambang.
Bagaimana pandangan/pengalaman Anda dalam melihat rekrutmen pemimpin di tingkat lokal maupun nasional yang berlangsung saat ini?
Kenapa, yang karena institusi politiknya tidak jelas! Karena institusi politiklah yang melahirkan kesenjangan apa yang dilakukan politisi dengan apa yang menjadi aspirasi masyarakat. Institusi politik menghasilkan politisi yang tidak peka terhadap konstituennya, karena tidak ada akuntabilitas politisi kepada konstituennya. Sekalipun politisi itu tidak pernah mengunjungi konstituennya, dia tetap bisa terpilih kembali. Kemudian, sentralisme di dalam politik menyebabkan aspirasi dari bawah tidak pernah sampai ke Jakarta.
Ibu Megawati, misalnya, sulit untuk bisa mendengarkan apa yang terjadi dan bergejolak di bawah, karena lapisan-lapisan di birokrasi partai itu sudah demiki sangat tebalnya. Nah, oleh karena itu persoalannya bukanlah pada penyederhanaan jumlah partai. Cara berpikir yang benar kan seharusnya, bagaimana kita bisa menciptakan sistem politik dan institusi politik yang memungkinkan efektifnya penyerapan aspirasi rakyat. Kalau sekarang kan diskusinya, partai banyak atau sedikit, bukan pada apakah aspirasi rakyat itu dapat ditangkap oleh partai politik secara efektif.
Oleh karena itu, diskusi seharusnya diarahkan bagaimana kita mampu mendesain suatu institusi politik yang memungkinkan aspirasi itu tidak senjang. Nah kalau jawabannya, partai lokal dibolehkan, why not! Toh, partai lokal juga akan melakukan pekerjaan politik di tingkat lokal. Jika terjadi pemilu nasional, partai lokal juga kan pada akhirnya harus berafiliasi dengan partai-partai politik di tingkat nasional. Nah sekarang, coba kalau Anda mau bikin partai baru, susahnya setengah mati, berapa miliar biaya yang Anda butuhkan.
Nah, kita harus menyadari, bahwa partai politik itu adalah pilar utama demokrasi. Dan, kenapa sih kita bikin partai, yah untuk menyederhanakan proses penyerapan aspirasi masyarakat oleh insan-insan politik. Karena, kalau Anda maju jadi gubernur, bupati, atau walikota lewat jalur calon independen, pasti biayanya lebih mahal dari partai politik, wong Anda engga punya infrastruktur. Jadi solusinya adalah menciptakan bukan calon independen sebagai solusi aspirasi rakyat atau tidak, karena calon independen pada hakekatnya bukanlah ancaman, dan tidak boleh dilihat sebagai ancaman. Calon independen adalah emergy exit. Seperti kalau terjadi kebakaran di pesawat, kita tahu jalan keluarnya yang aman. Jadi kalau partainya sudah dablek semua, proses kepemimpinan kita tetap ada jalan keluarnya, yah si calon independen ini. Jadi calon independen hanyalah balancing untuk memecahkan kebuntuan politik, jadi dia itu darurat sifatnya.
Menurut Anda, apa kira-kira yang menjadi hambatan mendasar dari sirkulasi kepemimpinan di negeri ini untuk menghadirkan sosok pemimpin yang bersih, memiliki integritas dan visi yang jelas serta bebas KKN?
Dari sisi sirkulasi elite kita merasakan kan selama ini sumpek, mampet. Jadi kaya udara yang muter-muter di sekitar kita saja, jadi alternatif kepemimpinan cuma ada pada figur Megawati, Wiranto, Gus Dur, atau Akbar Tanjung, karena semua sirkulasi udara mampet, engga ada ventilasi. Saya juga tidak tahu, kenapa sistem politik kita cuma menghasilkan kondisi seperti itu. Makanya, dalam konteks manajemen kepemimpinan daerah relevan yang namanya calon independen itu.
Calon independen itulah yang paling tidak sedikit bisa membuka sirkulasi udara itu agar mengalir secara segar. Karena kalo diserahkan kepada partai yang seperti itu hasilnya. Seperti koalisi menjelang pemilu 2009 misalnya, akan terjadi koalisi partai besar lagi, seperti PDIP dengan Golkar dan PPP, nanti bisa saja melawan SBY dengan Demokratnya plus PKS.
Dalam soal koalisi partai besar ini, kita menyaksikan betapa etika dan fatsoen politik dari politisi kita tidak jelas. Misalnya, seorang menteri yang notabene anak buah presiden, tidak melakukan koalisi tidak dengan presidennya. Suryadharma Ali (Ketua Umum PPP) melakukan koalisi dengan PDIP, berarti dia sudah tidak percaya dengan presidennya, tapi kenapa juga dia masih mau jadi menteri. Itulah rusaknya etika politik para politisi kita.
Tapi sebenarnya ini karma buat SBY. Karena SBY juga dulu kan anak buah Megawati yang men-chalanges bosnya, Hamzah Haz dan Agum Gumelar men-chalange bosnya. Nah kalau dia mau men-chalanges bosnya, berarti logika politiknya dia menganggap dirinya lebih baik dari bosnya. Harusnya, kalau para menteri itu punya etika politik, dan menganggap dirinya lebih baik dari presidennya, dia harus men-chalanges bosnya dari luar kekuasaan, jadi jangan dari dalam kekuasaan. Rusak dong, siapa yang mau kerja, ini kan namanya pembusukan.
Lalu bagaimana dengan soal birokasi?
Bagi saya, birokrasi fungsi utamanya tidak lebih dari alat eksekutif. Birokrasi pada dasarnya bisa dipengaruhi oleh pemimpinnya. Salah satu keberhasilan dari seorang pemimpin adalah kalau dia berhasil memanfaatkan birokrasi. Birokrasi itu given. Jadi pemimpin harus memiliki direction yang jelas kepada birokrasi, sehingga birokrasi mau mengikuti kebijakan pemimpinnya.
Menteri itu bukan jabatan profesional, tapi jabatan politik. Jadi menteri-menteri yang berasal dari partai politik yang duduk di kabinet harus jelas, jika diajak duduk dalam eksekutif atau duduk dalam pemerintahan, konsekuensi partai si menteri harus mendukung kebijakan pemerintahan di parlemen. Masalahnya, dalam konteks ini terjadi banyak kerancuan, partai si menteri kerapkali terlihat tidak mendukung kebijakan pemerintah. Inilah repotnya sistem pemerintahan kita, parlementer tidak, presidensial juga engga. Karena presiden sendiri gamang, untuk meng-exercise kekuatan dia sebagai presiden yang dipercaya langsung oleh rakyat, jadinya kebijakan presiden terkesan akomodatif terus.
Makanya dalam konteks kepemimpinan di daerah, calon independen bisa membuat mekanisme rekrutmen kepemimpin di daerah bisa lebih baik. Jadi calon independen itu bukan untuk menggembosi partai, dia menjadi faktor pendorong untuk menuju perbaikan mekanisme rekrutmen kepemimpinan yang ada di dalam partai politik. Karena pada dasarnya calon independen itu susah dan lebih mahal biaya politiknya, wong dia engga punya instrumen.
Ada yang bilang gerakan reformasi yang ada sekarang sudah kebablasan, ada yang bilang sudah salah arah. Lalu ke depan, gerakan apa yang efektif dan bisa memunculkan orang-orang yang memiliki track record bersih dan punya integritas supaya bangsa kita bisa keluar dari kemelut multidimensi seperti saat ini?
Ya, awalnya kan disebabkan gerakan reformasi menganggap musuh utamanya adalah Soeharto, kalo saya kan menganggap musuh bangsa ini rezim, karena rezim—bukan Soeharto semata—yang merusak bangsa ini. Nah, kita keburu puas setelah Soeharto jatuh, tapi rezim engga berubah. Jadi yang sekarang berkuasa sebenarnya Orde Baru jilid II. Siapa ketua DPD, Golkar, Ketua DPR, Golkar, Wakil Presiden, Gokkar, BP Migas dikuasai Golkar, di KPU ada Golkarnya, dimana-mana Golkar.
Golkar berkepentingan untuk berkuasa karena dengan berkuasalah kesalahan masa lalu mereka bisa mereka protek. Jadi salah kita sendiri. Harusnya dulu kan Golkar itu partai terlarang. Sepuluh tahun engga boleh ikut pemilu atau dua kali pemilu. Harusnya kan gitu tuntutan reformasi saat itu. Ada punishment yang jelas. Tentu harus melawati proses hukum di pengadilan, yang menunjukkan betapa rezim Golkar di masa Orde Baru itu korup.
Untuk itu, ke depan kita harus menarik garis pemisah yang jelas, antara kekuatan-kekuatan status quo dengan kekuatan-kekuatan baru. Syaratnya, kekuatan-kekuatan yang baru itu harus bersatu. PDIP tadinya kita harapkan bisa menjadi ujung tombak oposisi. Tapi akhirnya kerjasamanya juga sama Golkar.
Lalu, apa kira-kira solusi dari Anda dalam mengatasi krisis kepemimpinan yang berlangsung di Indonesia saat ini?
Intinya, perlu ada mekanisme yang bisa membuat sirkulasi kepemimpinan nasional itu lebih lancar. Kan keterlaluan, kalau bangsa ini cuma mengandalkan pada Gus Dur, Amien Rais, Megawati, Wiranto, Akbar Tandjung. Jadi menurut saya perlu ada mekanisme demokratisasi di dalam partai politik. Jadi seperti terdapat dalam ketentuan KPU, walapun katakanlah tidak ada calon independen, partai harus membuka diri seluas-luasnya terhadap warga negara yang hendak mencalonkan diri dalam pilkada. Dan itu harus disertai dengan berita acara, prosesnya itu dilaksanakan apa tidak. Nah disitu kadang-kadang hukum tidak ditegakkan.
Secara empiris, di dunia ini terbukti, bahwa negara-negara yang institusi politik dan ekonominya baik di masa lalu adalah negara-negara yang sejahtera sekarang. Bangsa kita engga bisa membangun institusi politik dan ekonomi dengan cara eksperimen terus, tapi institusi politiknya jelas, institusi ekonominya jelas. Karena itulah yang akan menjamin adanya kesinambungan pembaruan yang lebih pasti, bukan selera rezim. Nah, institusi politik yang bagus, punya beberapa karakteristik, seperti memberikan kebebasan pada warga negaranya untuk turut serta dalam proses politik dan proses ekonomi yang seluas-luasnya, dan juga memberikan kekuasaan kepada seluruh individu untuk memiliki faktor/alat produksi, supaya dia tidak sekedar mengandalkan pada tenaga saja. Jadi intinya, kesejahteraan rakyat yang dilandasi oleh kebebasan individu.
Selanjutnya, institusi yang baik juga harus bisa menciptakan kendala, sehingga para elite, politisi, dan kelompok-kelompok kekuatan tidak menjarah atau merampok aset-aset, kekayaan, atau investasi rakyat. Misalnya, kalau monorel jadi, itu kan sebetulnya Bukaka dan kawan-kawannya merampok aset atau kekayaan rakyat, karena nanti rakyat yang akan membayar proyek itu. Kenapa? karena institusi yang mengaturnya buruk. Jalan tol yang naik adalah ruas-ruas yang dikuasai oleh penguasa. Contoh lain, Bakrie misalnya, tidak punya infrastruktur, tapi bisa dapat fasilitas SLI, itu kan fakta-fakta dari institusi politik dan ekonominya buruk.
Nah, untuk membangun institusi yang baik, hulunya adalah konstitusi. Jadi harus ada pembaruan konstitusi. Konstitusi kita sifatnya sementara. Bung Karno sendiri mengatakan UUD 45 itu sifatnya sementara, prasyarat untuk kita bisa merdeka aja. Nanti kalau sudah pemilu, kita akan menghasilkan MPR/DPR yang akan membuat konstitusi baru. Dan konstitusi kita jelas-jelas menciptakan ambigu-ambigu, misalnya sistem pemerintah kita apakah parlementer atau presidensial, bikameral atau unikameral, peran negara dengan peran pasar engga jelas. Ini semua yang bikin kacau.
Intinya, konstitusi kita telah menggariskan tujuan kita bernegara kita apa, tapi untuk mencapai itu tidak ditunjukkan secara eksplisit dalam konstitusi kita kendaraan apa yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan itu, ya engga sampai-sampai. Nah, kalau konstitusinya sudah beres, baru aturan perundangan yang lainnya bisa beres. Kalau kita saksikan sekarang makin banyak proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi, itu sendirinya indikasi apa sih, kan anomali. Jadi yang salah undang-undangnya apa konstitusinya. Kemungkinan besar konstitusinya yang rancu. Maka, kalau pun kita akan kembali melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945, maka amandemenya harus bersifat komprehensif, bukan yang diusulkan untuk melakukan amandemen karena ada kepentingan elite yang terganggu disana.
Ok, untuk lebih demokratis, dibuatlah aturan tentang DPD misalnya, tapi DPD-nya dikebiri, kan lucu. Peran negara juga sampai detik ini engga jelas. Masa peran negara sampai saat ini masih jadi “tukang kebun” dengan PTP-nya, masa negara bersaing dengan warga negaranya, kan engga mungkin.
Konstitusi itu sebenarnya ngurusin apa sih? Kan untuk melindungai bangsa dan tumpah darah, bagaimana menjamin hak-hak individu warga negara, bagaimana memobilsasi seluruh resources yang ada pada negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, kemudian apa peran negara, peran pasar, dan apa peran pasar. Menurut saya tujuan atau esensi bernegara kita juga harus direvisi. Bukan jargon adil makmur-gemah ripah loh jinawi. Tapi tujuan bernegara adalah untuk mencapai kebahagiaan (happiness) bagi seluruh rakyat. Lalu, kendaraan untuk mencapai tujuan. Masalahnya, sampai sekarang kita belum mendefinisikan kendaraan, yakni ideologi sebagai falsafah dasar kehidupan kita untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara yang mencapai kebahagiaan bagi semua.
Kita tidak mendesain warga bangsa untuk mencapai hakikat dari kehidupan ini, yakni kebahagiaan. Padahal itulah hakekat hidup menurut Aristoteles, menurut Gandhi, menurut Bentham.
Tidak ada negara yang maju di dunia ini, yang tidak gencar melakukan investasi pendidikan dan penelitian. Di negeri ini misalnya, biaya penelitian cuma dianggarkan 300 juta dollar dengan penduduk 222 juta. Sementara Malaysia, menganggarkan penelitian sebesar 1,1 miliar dollar dengan penduduk 17 juta, Singapura dengan jumlah penduduk 3,5 juta menganggarkan penelitian sebesar 2,2 miliar dollar, Cina dengan jumlah penduduk 2 milyar orang menganggarkan untuk biaya penelitian 72 miliar dollar per tahun.
Di Indonesia, lebih sudah Cuma 300 juta dollar, 84,5 persennya dilakukan oleh negara (umumnya proyek penelitian dikerjakan oleh departemen pemerintah), sementara oleh swasta cuma 14,3 persen. Sementara di Cina, 62 persen dilakukan oleh swasta dan negaranya cuma 38 persen. Akhirnya apa, kita jadi negara pembajak, kerena kita lemah dalam penelitian-penelitian yang produktif dan inovatif di bidang sains dan teknologi. Itulah yang mendukung daya saing bangsa, karena selalu ada pembaruan produk, manajemen makin baik, pemerintahnya jadi makin efisien.
Nah, semua itu harus dilandasi oleh cara berpikir yang benar, yaitu ideologi. Ideologi kita apa? Kalau kita telusuri dari goals konstitusi kita, sebenarnya ideologi bangsa ini adalah demokrasi sosial dan sistem pasar sosial. Tapi kenyataannya, perilaku kita liberal pada level yang primitif, kapitalisme jaman kuda gigit besi.
Jadi kita harus memulai dari ideologi. Ideologi itulah kendaraan yang masih missing di negeri ini. Nah masalanya, ada salah satu Menko kita pada saat bertemu Joseph Stiglizt dengan lugas menyatakan “i don’t care ideology”! Saya engga peduli ideologi apa, kata sang Menko, yang penting saya bisa mencapai tujuan. Statement ini jelas aneh, tidak mungkin sebuah kebijakan dibuat tanpa landasan ideologi yang jelas. Karena jika Anda menggunakan ideologi kapitalisme primitif dalam kebijakan ekonomi, niscaya akan menghasilkan ketimpangan dalam kehidupan ekonomi negara, itu pasti.
Pembukaan UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa tujuan kita bernegara adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam konteks kesejahteraan sosial, Bung Karno menegaskan: (1) tidak boleh ada kemiskinan di bumi Indonesia merdeka, (2) tidak didominasi kaum kapitalis, dan (3) kesejahteraan yang merata keseluruh rakyatnya, bukan kesejahteraan orang seorang.
Jelas kiranya, landasan ideologi kita bukanlah libertarian, melainkan demokrasi sosial. Dalam kehidupan berekonomi, konstitusi kita sama sekali tak mengindikasikan spirit antipasar, tetapi juga secara tegas tidak menyerahkan seluruh urusan ekonomi pada mekanisme pasar. Jadi tidaklah benar kesan bahwa seiring dengan tuntutan agar pasar lebih banyak berperan dalam memajukan perekonomian, peran negara harus dikurangi. Justru sebaliknya, semakin besar peran diberikan ke pasar, peran negara harus lebih diperkuat untuk menjamin kesejahteraan yang berkeadilan.
Jadi persoalan yang harus kita rumuskan bukan terletak pada pendikotomian peran pasar versus peran negara, melainkan bagaimana melakukan reorientasi peran negara secara dinamis sejalan dengan tuntutan perubahan yang terus berlangsung di lingkungan internal dan eksternal. Bagaimana peran negara bisa optimal mendayagunakan segala potensi yang dimiliki bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Sejauh ini, kita belum melihat peta jalan yang disiapkan oleh para pemimpin kita untuk mengoptimalkan negara sebagai sarana yang sungguh-sungguh bisa berpihak para rakyatnya, dan mampu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.
(Azman dan Launa)

Quo Vadis UU - PHI

S. Tavip

Undang-undang (UU) No. 2 tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang mulai efektif diberlakukan pada tanggal 14 Januari 2006 lalu setelah sempat tertunda 2 tahun, sesungguhnya masih menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang perlu disikapi dan dikritisi, yaitu: (1) bahwa bagi kaum pekerja beracara di pengadilan dengan segala aturan, tata cara dan etika beracara yang terkesan sangat kaku sesungguhnya masih merupakan sesuatu yang sangat awam. Ruang bagi pekerja untuk secara bebas menyampaikan permasalahan dan aspirasinya akan terhambat oleh aturan-aturan beracara tadi.

Bagi pengusaha barangkali tidak terlalu sulit dengan kekuatan keuangannya untuk menyewa seorang pengacara yang sudah sangat paham dan terbiasa beracara dan menangani kasus-kasus dan bersidang di Pengadilan, (2) kendati organisasi Serikat pekerja diberi hak untuk bertindak sebagai kuasa hukum sebagaimana pasal 87 Undang Undang No.2/2004 yang memainkan peran sebagai pembela untuk melindungi hak-hak anggotanya, namun ada produk hukum lain yang sepertinya terlupakan, yaitu UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang jelas-jelas menyatakan hanya seorang advokat dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum dan kualifikasi tertentu yang dapat bertindak sebagai pembela.

Selain advokat, jelas dilarang sebagaimana bunyi pasal 31 UU No.18 tahun 2003 di bawah ini: Pasal 31. Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

Jadi dengan demikian, peran serikat pekerja untuk dapat menjalankan fungsi pembelaan terhadap angotanya yang tengah berselisih di pengadilan akan terhambat oleh UU No.18 tahun 2003 tersebut.
Â
1. Bahwa pekerja atau serikat pekerja kemungkinan besar akan sering berhadapan dengan kalangan pengacara yang disewa oleh Pengusaha. Ini tentu saja akan mereduksi konsep hubungan bipartit pekerja-pengusaha yang didasarkan pada semangat kemitraan yang selama ini digembar-gemborkan oleh Pemerintah.

Bisa dibayangkan, seorang pengacara yang kurang memahami dan merasakan situasi hubungan industrial di tempat kerja harus menangani perselisihan yang sesungguhnya tidak bisa dipandang secara hitam putih sebagaimana hukum-hukum perdata/pidana yang selama ini ditanganinya. Artinya, pengacara akan sangat kaku berpendirian pada apa yang dimaui oleh kliennya, yaitu Pengusaha. Ruang-ruang untuk penyelesaian secara musyawarah bipartit akan sangat terbatas.

2. Kendati Undang-undang ini memberikan limit waktu tertentu (menurut mantan Menakertrans, Jacob Nuwa Wea tidak akan lebih dari 120 hari) untuk penyelesaian suatu perselisihan, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa prosesnya akan berjalan lancar. Kalaupun terdapat pasal yang mengatur soal sanksi bagi kerja Mediator, Konsiliator dan Arbiter yang lambat dalam menyelesaikan sebuah kasus, namun sanksi tersebut lebih bersifat administratif yang tentu saja sangat longgar. Sementara di Mahkamah Agung sendiri saat ini masih terdapat belasan ribu perkara yang belum diputus.

3. Menyangkut rekrutmen hakim-hakim ad-hoc, baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung ternyata tidak cukup transparan. Kriteria apa yang dijadikan standar sehingga seseorang dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus, sangat tidak jelas. Hal ini tentu saja menimbulkan dugaan adanya permainan/kongkalingkong antara para pejabat yang menseleksi dengan para calon hakim ad-hoc yang jumlahnya tidak sedikit dan tersebar di sejumlah wilayah propinsi di Indonesia.

4. Jika menilik lebih jauh kandungan dari UU ini, menyangkut peran Mediator dan Konsiliator, pada pasal 13 ayat 2 butir a disebutkan bahwa Mediator mengeluarkan anjuran, sementara pada pasal 19 ayat 2 butir a Konsiliator juga mengeluarkan anjuran. Artinya apa bedanya Mediator dan Konsiliator kalau mereka sama-sama harus mengeluarkan anjuran. Kesan yang nampak adalah bahwa UU ini sepertinya hanya ingin memberi lapangan kerja baru bagi mereka yang ingin menjadi Konsiliator.

5. Bahwa UU ini juga tidak bisa menjamin adanya penyelesaian perselisihan yang murah sebagaimana diamanatkan pada bagian konsiderannya. Karena ternyata untuk penyelesaian melalui arbiter, para pihak yang berselisih juga harus mengeluarkan sejumlah biaya (pasal 34 ayat 2 huruf c) yang berkenaan dengan biaya arbitrase dan honorarium arbiter yang besarnyapun masih belum jelas.

Lihat juga pasal 58. Untuk nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000 tidak dikenakan biaya. Padahal kita tahu bahwa saat ini banyak sekali kasus-kasus PHK yang bersifat massal yang dialami oleh pekerja-pekerja di industri manufaktur dengan upah yang seringkali masih di bawah nilai UMP, namun karena jumlah pekerjanya banyak, maka jika diakumulasikan nilainya bisa di atas Rp.150.000.000. Lalu bagaimana pula dengan gugatan yang tidak bernilai uang, seperti kasus skorsing, mutasi yang sewenang-wenang, intimidasi terhadap pekerja yang berserikat, perundingan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang mengalami dead-lock, dan sebagainya.
Â
6. Ada hal yang menarik menyangkut soal perselisihan hak. Pada pasal 56 huruf a disebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama mengenai perselisihan hak. Artinya masih bisa diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Padahal yang namanya hak dalam hubungan industrial adalah menyangkut nilai-nilai yang bersifat normatif. Jadi apabila seorang Pengusaha jelas-jelas tidak membayar upah pekerja sesuai ketentuan UMP yang berlaku atau tidak menyertakan pekerjanya dalam program Jamsostek, mengapa masih harus diajukan kasasi. Karena UMP maupun Jamsostek merupakan hak normatif pekerja yang bersifat wajib dilaksanakan oleh Pengusaha. Â

7. Bahwa sampai hari ini berbagai lembaga/instansi yang terkait dengan persiapan pembentukan pengadilan perselisihan hubungan industrial, lebih terfokus pada persoalan perekrutan hakim ad-hoc dan kurang memberikan perhatian terhadap pengangkatan mediator, konsiliator dan arbiter yang sampai hari ini masih tidak jelas keberadaannya. Padahal, peran ketiga unsur tersebut sangat penting dalam menyelesaikan suatu perselisihan ketenagakerjaan sebelum masuk ke lembaga peradilan hubungan industrial ataupun Mahkamah Agung. Perlu juga dibuka secara transparan mengenai mekanisme dan kriteria yang jelas jika seseorang dinyatakan layak atau tidak layak menjadi seorang mediator, konsiliator dan arbiter.

Tawaran Aternatif

Selama ini isu-isu ketenagakerjaan sepertinya kurang mendapat tempat yang strategis dan di negeri ini. Padahal hampir setiap hari kita menyaksikan begitu banyak kasus-kasus ketenagakerjaan yang tidak jarang menjadi pemberitaan utama di berbagai massa baik media cetak maupun elektronik.

Di tengah kegamangan terhadap pilihan proses penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang benar-benar cepat, sederhana, murah dan adil barangkali ide di bawah ini bisa dijadikan bahan pemikiran kita untuk bersama-sama menjajakinya, meski tentu saja masih diperlukan kajian yang lebih mendalam serta tinjauan dari berbagai aspek. Konsep yang coba ditawarkan di sini adalah: (a) Penyelesaian secara Bipartit; (b) Penyelesaian melalui Mediasi; (c) Penyelesaian melalui Komisi Daerah; (d) Penyelesaian melalui Komisi Nasional.Â

A. Penyelesaian Secara Bipartit

Penyelesaian secara bipartite harus tetap dilakukan antara para pihak yang berselisih. Namun rasanya sangat sulit dilakukan jika hubungan antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja berada pada posisi berhadap-hadapan (face to face) sebagai lawan yang setiap saat harus saling mengalahkan.

Pemerintah kiranya harus bekerja ekstra agar hubungan antara Pengusaha-Pekerja/Serikat Pekerja bisa terjalin lebih harmonis, lebih mesra dan lebih solid. Upaya-upaya untuk secara intensif mengkampanyekan nilai-nilai kemitraan harus terus dilakukan. Sikap alergi kalangan pengusaha terhadap serikat pekerja harus bisa dieliminir. Sehingga antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja tercipta sikap saling pengertian (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), saling percaya (mutual trust) dan saling memberikan manfaat (mutual benefit) yang dibangun melalui dialog-dialog yang sehat dan konstruktif yang dilandasi oleh rasa kebersamaan dan kejujuran.

Dengan demikian maka Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja akan bahu membahu bekerja sama (hand in hand) dalam memecahkan setiap permasalahan ketenagakerjaan yang sesungguhnya merupakan permasalahan kolektif yang tidak bisa ditangani dan dipecahkan sendiri oleh Pengusaha maupun Pekerja/Serikat Pekerja, melainkan harus secara bersama-sama.

Oleh karenanya agar penyelesaian secara bipartit dapat dilakukan secara efektif maka perlu dibangun dulu prakondisinya, yaitu menumbuhkan tradisi berunding yang kuat antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja. Untuk menunjang upaya tersebut, maka diperlukan political will dari Pemerintah untuk secara intensif mengkampanyekan budaya berunding yang dalam terminologi ILO disebut sebagai Social Dialog. Tidak berlebihan dan perlu didukung konsep PBB yang saat ini coba dibangun oleh kalangan Pengurus APINDO, yaitu Pengusaha-Buruh Bersatu agar berbagai persoalan ketenagakerjaan di negeri ini dapat diatasi secara win-win solution tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Juga tanpa ada campur tangan dari pihak Pemerintah yang terlalu kuat.

B. Penyelesaian melalui Pemerantaraan (Mediasi)Â

Keberadaan Pegawai Perantara di Instansi Pemerintah di Bidang Ketenagakerjaan sebaiknya harus tetap dipertahankan, namun yang selama ini fungsinya mengeluarkan anjuran manakala upaya perdamain tidak mencapai kata sepakat harus dihapuskan.

Penyelesaian secara damai harus tetap diupayakan secara maksimal oleh pegawai perantara (Mediator) dengan menawarkan berbagai alternatif pemecahan. Namun manakala upaya perdamaian itu menemui kegagalan dan para pihak masih juga berkeberatan dengan tawaran-tawaran solusi dari pegawai perantara, maka pegawai perantara tidak lalu membuat anjuran, melainkan melaporkan kepada lembaga di atasnya, yaitu Komisi Daerah Perselisihan Ketenagakerjaan tentang proses yang terjadi selama di pemerantaraan termasuk solusi yang coba ditawarkan serta sikap para pihak terhadap tawaran solusi tersebut.

Tentu saja harus diberi limit waktu agar laporan dari pegawai perantara tidak sampai berlarut-larut yang hanya akan merugikan para pihak yang berselisih. Atas keteledoran pegawai perantara dalam membuat laporan, maka para pihak dapat melaporkannya kepada atasan yang bersangkutan untuk dikenakan sanksi tegas. Nanti atas laporan dari pegawai perantara tersebut, biarkan Komisi yang memeriksa lebih lanjut melalui sidang-sidang hearing dan memutuskan perkaranya. Dengan cara ini, maka kesan bahwa anjuran cenderung bersifat vonis, bisa dieleminir begitu juga kongkalingkong antara Pegawai Perantara (Mediator) dengan pihak-pihak yang berselisih

C. Komisi Daerah Perselisihan Ketenagakerjaan

Atas laporan yang diterima dari Mediator, maka Komisi Daerah berwenang memeriksa dan memutus perkara dengan terlebih dahulu melakukan sidang hearing dengan memanggil para pihak yang berselisih guna dimintai keterangan-keterangannya. Komisi Daerah masih sangat mungkin menawarkan penyelesaian secara damai.

Lamanya proses penyelesaian di tingkat ini tentu saja harus dibatasi agar tidak menjadi berlarut-larut. Mungkin 30 hari lamanya. Anggota dari Komisi Daerah dipilih oleh DPR Propinsi melalui fit and proper test dari calon-calon yang diajukan oleh organisasinya masing-masing. Ini penting agar anggota DPR Daerah juga memiliki concern yang besar terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan di daerahnya. Juga agar Komisi ini memiliki kredibilitas dan wibawa, baik di mata Pemerintah, Pengusaha maupun Pekerja/Serikat Pekerja karena pengangkatannya tidak sembarangan.

Bagi para calon anggota Komisi Daerah yang lulus fit and proper test kemudian dibuatkan surat pengesahan keanggotaan oleh Gubernur setempat disertai ketetapan mengenai fasilitas gaji, tunjangan-tunjangan dan lain sebagainya. Para anggota Komisi Daerah bekerja secara full time dan tidak diperkenankan nyambi di tempat lain agar perhatian, waktu dan tenaganya sepenuhnya dicurahkan untuk menyelesaikan kasus-kasus perselisihan yang ditanganinya.

Untuk menunjang kredibilitas anggota Komisi Daerah, maka mereka juga diharuskan melaporkan kekayaannya, baik sebelum maupun sesudah menjabat. Komisi Daerah terdiri dari 2 (dua) kamar masing-masing 9 orang dengan komposisi keterwakilan 3 : 3 : 3, yaitu 3 orang dari unsur Pemerintah, 3 orang dari unsur Pengusaha dan 3 orang dari unsur Serikat Pekerja. Agar banyak kasus yang dapat diperiksa dan diputus perkaranya, maka Komisi Daerah bersidang dari Senin sampai dengan Kamis dengan sekurang-kurangnya dalam sehari menyidangkan 5 kasus yang masuk.

Untuk memberi keleluasaan waktu yang cukup bagi anggota Komisi Daeah dalam menjalankan tugas-tugasnya, maka masa keanggotaan ditetapkan 5 (lima) tahun Mereka masih mungkin dapat diilih kembali untuk satu periode berikutnya. Jika terjadi pergantian antar waktu, mekanismenya tetap melalui DPRD.

Komisi Daerah bersifat independent dalam mengambil keputusan. Dia bukan merupakan bagian dari struktur Pemerintah Daerah. Namun keputusan Komisi Daerah masih bisa dibanding ke Komisi Nasional.

Oleh karenanya, para pihak yang berselisih harus segera memberikan jawaban atas putusan Komisi Daerah yaitu dalam waktu 10 hari kerja setelah diterimanya putusan Bagi yang tidak memberikan jawaban, maka dianggap menolak. Maka dengan sendirinya, kasus perselisihan dilimpahkan ke Komisi Nasional. Namun jika para pihak menyatakan dapat menerima putusan tersebut, maka pelaksanaannya dilakukan di bawah pengawasan Kantor Dinas Tenaga Kerja di tingkat Kotamadya/Kabupaten.

D. Komisi Nasional Perselisihan Ketenagakerjaan

Seperti juga tugas dan tanggung-jawab Komisi Daerah, Komisi Nasional Perselisihan Ketenagakerjaan juga melakukan pemeriksaan dan memutus perkara atas kasus-kasus yang diajukan banding dari Komisi Daerah. Keputusan Komisi Nasional untuk kasus apapun bersifat tetap dan final.

Dalam pemilihan anggota Komisi Nasional, proses fit and proper test dilakukan melalui DPR Pusat dari calon-calon yang diajukan oleh organisasinya masing-masing serta Pengesahannya yang dilakukan melalui Keputusan Presiden. Mereka bekerja secara full time dan tidak diperkenankan nyambi di tempat lain. Kekayaan mereka juga harus dilaporkan secara transparan, baik sebelum maupun setelah menjadi anggota Komisi. Dia juga terdiri dari 2 (dua) kamar masing-masing 9 orang dengan komposisi keterwakilan 3 : 3 : 3, yaitu 3 orang dari unsur Pemerintah, 3 orang dari unsur Pengusaha dan 3 orang dari unsur Serikat Pekerja

Begitu juga agar banyak kasus yang dapat diperiksa dan diputus perkaranya, maka Komisi Nasional bersidang dari Senin sampai dengan Kamis dengan sekurang-kurangnya dalam sehari menyidangkan 5 kasus yang masuk. Lamanya proses penyelesaian di tingkat ini tentu saja juga harus dibatasi agar tidak menjadi berlarut-larut, yaitu 30 hari lamanya. Masa keanggotaan juga sama yaitu 5 (lima) tahun. Dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Jika terjadi pergantian antar waktu karena anggota yang bersangkutan mengundurkan diri, sakit, meninggal dunia dan sebagainya, mekanismenya masih tetap melalui DPR Pusat.

Komisi Nasional bersifat independen dalam mengambil keputusan. Dia bukan merupakan bagian dari struktur Pemerintah Pusat. Sehingga keputusannya (harus dinyatakan dalam UU) tidak bisa digugat ke PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Dengan demikian hal ini akan semakin mempercepat proses penyelesaian perselisihan.

Demikianlah gagasan dibentuknya Komisi Daerah dan Komisi Nasional ini tujuannya tidak lain agar masalah-masalah ketenagakerjaan bisa menjadi concern semua pihak, tidak dipandang sebelah mata dan tidak dimarjinalisasikan. Tentu saja gagasan ini masih bersifat garis besar. Masih diperlukan pemikiran-pemikiran lain untuk menyempurnakannya agar proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, murah, sederhana dan adil dapat memenuhi harapan setiap orang.

* Penulis adalah Ketua Dewan Syuro Organsasi Pekerja Seluruh Indonesia

Skenario Meliberalisasi Upah Buruh

Timboel Siregar

Keinginan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi untuk menafikan keberadaan upah minimum dengan mengusulkan kenaikan upah tiap tahunnya berdasarkan inflasi (Suara Pembaruan, Kamis 29 Juli 2004). Hal  tersebut, merupakan sinyalemen dan kampanye terbuka dalam menekan kenaikan upah minimum menjelang bekerjanya Komisi Pengupahan yang akan dirumuskan upah minimum provinsi/kabupaten/kota.
Seperti biasanya Komisi Pengupahan di masing-masing provinsi dan kabupatan/kota sudah mulai bekerja pada awal bulan Agustus ini dan, seperti biasanya juga, baik pihak pengusaha maupun buruh selalu menunggu hasil Komisi Pengupahan ini dengan berbagai harapan dan kecemasan. Pihak pengusaha berharap kenaikan upah minimum tidak tinggi karena akan mempengaruhi naiknya labor cost, sementara itu buruh selalu dirudung kecemasan karena upah di tahun depan tetap tidak akan mencukupi untuk menghidupi dirinya dan atau keluarganya dengan layak.
Dapat dikatakan bahwa sebagian besar permasalahan antara buruh dan pengusaha terjadi karena masalah upah. Karena seringnya muncul permasalahan akibat upah maka upah buruh sering dijadikan indikator utama untuk menentukan adanya hubungan industrial yang harmonis antara buruh dan pengusaha. Walaupun sudah ada ketentuan upah minimum yang ditetapkan namun masih banyak pengusaha yang enggan untuk menerapkan upah minimum tersebut. Walaupun sudah ada ketentuan tentang tata cara perhitungan upah lembur yang tertuang dalam Permenaker no.72 tahun 1984 namun banyak pengusaha yang tidak mau menerapkannya, dsb.
Upah minimum diciptakan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap buruh akibat adanya ketidakseimbangan Supply dan Demand di pasar tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan peran negara yang harus menjalankan peran etis dan pragmatis yaitu dengan menjalankan fungsi Custodian untuk melindungi, mengawasi dan mencegah terjadinya perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan rakyat (Evans, 2000). Keberadaan konsep upah minimum telah lama digunakan di dunia ini. Di Amerika Serikat sendiri, konsep ini telah dituangkan dalam Fair Labor Standard Act tahun 1938.
Namun demikian, sejalan dengan proses globalisasi, yang ditandai dengan makin maraknya pengaruh ideologi Neoliberalisme, keberadaan instrumen upah minimum sepertinya sudah tidak “disenangi� lagi oleh para pengusaha. Pemilik modal lebih senang untuk mengadopsi sistem fleksibiltas di bidang pengupahan (Wage System Flexibility) untuk menjamin keberlangsungan usahanya. Upah minimum diyakini sebagai instrumen yang dapat menghambat berlakunya Wage System Flexibility.
Untuk lebih menjamin berlakunya sistem pengupahan yang fleksibel tersebut, kerap kali para pengusaha berusaha “meracuni� pikiran para birokrat kita dengan berbagai cara agar pemerintah tidak lagi campur tangan dalam penetapan upah buruh. Pemerintah diposisikan untuk tidak lagi berfungsi melindungi kaum buruh. Peran etis dan pragmatis pemerintah harus disesuaikan dengan kondisi pasar yang fleksibel.
Dalam kenyataannya memang pemerintah/negara sangat memanjakan pemilik
modal untuk berinvestasi di Indonesia, sementara itu negara melakukan kontrol ketat terhadap buruh. Upah buruh yang murah tetap menjadi penawaran indah negara terhadap pemodal. Secara grafis dapat digambarkan hubungan Negara–Pemodal–Buruh, yang mencerminkan kondisi real saat ini.
Walaupun secara etis dan pragmatis pemerintah harus melindungi para buruh, namun lambat laun fungsi tersebut mulai ditinggalkan, tidak hanya secara operasional tetapi juga sudah secara terang-terangan dikemukakan dan dikampanyekan. Fakta tentang keberpihakan pemerintah kepada pengusaha atas keberadaan upah minimun ditunjukkan melalui pernyataan beberapa perwakilan pemerintah yang dikemukakan di depan umum, seperti yang dikatakan oleh Direktur Pengupahan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diucapkan dalam sebuah seminar di Bogor), Bambang Widianto dari Bappenas dan Slamet Sutomo dari BPS (dalam sebuah seminar tentang pengupahan) yang menginginkan agar penentuan upah buruh ditentukan saja oleh pengusaha dan buruh (serikat buruh) melalui negosiasi Bipartit di masing-masing perusahaan.
Apa artinya ini? Hal ini berarti bahwa mereka menginginkan agar pemerintah tidak lagi berperan dalam penentuan upah minimum. Mereka menginginkan upah ditentukan secara bebas (liberal) oleh pekerja dan pengusaha, karena dua pihak inilah yang mengetahui kondisi keuangan perusahaan, demikian alasan yang diucapkan untuk mendukung ide ini.
Gayung bersambut, keinginan Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi di atas dan keinginan para birokrat kita ternyata seirama. Mereka bersepakat untuk meliberalkan penentuan upah buruh di Indonesia, walaupun dengan caranya masing-masing.
Apa implikasi liberalisasi upah ini? Dengan kondisi Supply dan Demand di pasar tenaga kerja yang tidak berimbang ditambah dengan tingkat SDM buruh yang masih rendah maka tingkat upah akan cenderung menurun. Tingginya tingkat pencari kerja dan SDM yang rendah akan dijadikan alasan untuk menekan biaya upah buruh. Implikasi lainnya adalah, bila dalam negosiasi Bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka penentuan upah akan ditentukan oleh Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial, sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UU no.2 tahun 2004 (UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) yang akan berlaku mulai Januari 2005.
Hakim Ad-Hoc akan menetapkan apakah ada kenaikan upah atau tidak, dan berapa besar kenaikan upah tersebut. Di sinipun sudah jelas terlihat juga bahwa proses penyelesaian perselisihan antara buruh (serikat buruh) dengan pengusaha dilakukan secara liberal melalui mekanisme pengadilan. Perselingkuhan sangat berpotensi melebar dengan terlibatnya pihak yudikatif dalam penyelesaian masalah-masalah perburuhan.
Kenyataan adanya keinginan untuk meliberalisasikan penentuan upah buruh, baik oleh pengusaha dan pemerintah, akan membuat semakin runyamnya kondisi hubungan industrial kita ke depan. Kondisi ini juga akan diperparah lagi dengan tidak adanya keinginan serius dari pemerintah untuk mengajukan konsep KHL (Kebutuhan Hidup Layak) sebagai indikator dalam penentuan upah buruh di Indonesia. Pemerintah hanya puas dengan mengajukan konsep KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menakertrans Jacob Nuwa Wea tangal 16 Juli 2004.
Agenda Serikat Buruh ke Depan
Penting diyakinkan dalam tulisan ini bahwa realitas pengupahan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan kaum buruh. Permasalahan pengupahan yang ada selama ini tidak hanya disebabkan oleh pemerintah dan pengusaha saja, tetapi juga karena faktor kekurangsiapan serikat buruh itu sendiri dalam melakukan negosiasi.
Paling tidak ada tiga masalah penting yang menjadi kendala bagi serikat buruh dalam meningkatkan upah buruh, yaitu pertama, masih kurangnya pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh wakil serikat buruh yang duduk di Komisi Pengupahan, seperti pengetahuan tentang metode pengukuran tingkat hidup layak buruh beserta komponen-komponennya, daya beli buruh, tingkat inflasi real, hingga kurangnya kemampuan bernegosiasi.
Kedua, kurang terkonsolidasinya gerakan serikat buruh. Hal ini berdampak kepada kurang kompaknya wakil serikat buruh di Komisi Pengupahan. Mereka sering beranggapan bahwa kehadiran mereka di sana sebagai wakil organisasi bukan sebagai wakil buruh. Sikap ini membuka peluang adanya kolusi antara wakil buruh dengan pengusaha. Dan ketiga, adanya peraturan-peraturan perburuhan yang mendukung terciptanya kondisi kerja yang fleksibel dan liberal, seperti UU no. 13 tahun 2003 dan UU no.2 tahun 2004.
Kendala-kendala di atas memang sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian adalah tugas serikat buruh untuk menjawab masalah tersebut. Untuk permasalahan pertama, perlu kiranya dilakukan proses rekrutmen wakil serikat buruh yang akan duduk di Komisi Pengupahan melalui proses fit and proper test yang dilakukan oleh komunitas serikat buruh dan buruh, sehingga ada suatu jaminan bahwa yang duduk di sana adalah orang-orang yang kredibel. Untuk permasalahan kedua, bahwa seluruh serikat buruh harus bisa meninggalkan ego masing-masing dan melihat permasalahan pengupahan sebagai permasalahan bersama.
Selain itu perlu juga dilakukan pengawasan/kontrol atas kinerja wakil buruh di Komisi Pengupahan, guna mengeliminir potensi terjadinya KKN. Dan untuk masalah ketiga, seluruh serikat buruh harus menyadari bahwa kondisi perburuhan saat ini sedang dibawa ke arah liberal untuk melayani kebutuhan pasar bebas. Oleh sebab itu perlu terus dilakukan kampanye-kempanye positif untuk meyakinkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah bahwa buruh bukanlah komoditi tetapi manusia yang memiliki hak asasi untuk bekerja dan mendapat upah yang layak.
* Penulis adalah Wakil Presiden OPSI

Pengembangan Displin Dalam tata Kelola Aset Bangsa


Azman Fajar. MA

“Its not only democracy that makes people welfare, its discipline”
(Lee Kuan Yew)

Demikianlah keyakinan Lee Kuan Yew ketika membangun Singapura pada masa pemerintahannya, atas dasar keyakinannya itulah Lee secara perlahan mewujudkan Singapura menjadi negara yang maju secara ekonomi, beradad secara etika dan memiliki nilai tawar yang tinggi dimata dunia internasional meskipun negara ini luasnya hanyalah sebesar sebongkah sebuah pulau jika dibandingkan dengan tanah air kita, Indonesia.
Sebagai konsekunsi dari pelaksanaan sistem yang diterapkan tersebut maka kita melihat bahwa Lee berhasil membawa Singapore menjadi negara terunggul di Asia Tenggara, sekaligus membuat Singapura mendapatkan sebutan sekaligus cemoohan sebagai “Kota Denda” (Fine City), betapa tidak segala sesuatu di Singapura pada masa awal penerapan disiplin ala Lee yang disetarakan tingkat otoriteriannya dengan Soeharto, Marcos dan Mahathir menyertakan sanksi atas ketidak patuhan warganya. Gerbrakan Lee yang dimulai dari merubah kebiasaan masyarakat meludah sembarangan, merokok disembarang tempat hingga sanksi atas pelanggaran hukum lainnya telah membuat masyarakat mau tidak mau patuh guna menghindari denda yang diberlakukan. Akan tetapi adagium diatas tidak seratus persen dapat diterima oleh semua orang, terutama akibat adanya pembatasan dalam banyak hal misalnya saja, masyarakat tidak bisa menikmati derasnya arus informasi yang mengalir baik melalui radio, televisi maupun internet. Akhirnya yang terjadi adalah pertarungan antara nilai universal bernama demokrasi vesus disiplin yang inheren dengan otoriterianism.
Bagaimana dengan di Indonesia?, pemaraparan panjang dan lebar mungkin sudah tidak diperlukan karena kita mengalaminya sendiri, bahkan kita mungkin lebih tahu proses manajemen bangsa kita dan apa yang membuat banyak hal disini menjadi bias, berhasil bagi sebagian orang, kelompok atau regional atau malah mandul sama sekali.
Artikel ini tidak akan membandingkan antara pengelolaan atau manajemen ala Singapura atau ala Indonesia, akan tetapi mencoba melihat dan mencari solusi atas apa yang terjadi di Indonesia dengan referensi yang setidaknya memetakan kondisi kita guna mencari solusi yang lebih tepat unutk bangsa yang kita cintai ini.

Administrasi atau Manajemen Strategis
Akhir-akhir ini terjadi pergulatan yang cukup seru antara penganut dua paham seperti yang disebutkan pada sub-judul, aliran administrasi meyakini bahwa segala sesuatu didasarkan atas administrasi, dikatakan bahwa sejak pertama kali melihat matahari seorang bayi sudah berhadapan dengan persoalan administrasi yaitu bahwa sang bayi harus segera didata, diberi pengenal pada kaki mungilnya, diberikan tanda kenal lahir dan setelah beberapa saat harus memiliki akte kelahiran, dan seterusnya. Jadi kesimpulannya Administrasi adalah hal yang mutlak pada segala hal apalagi jika sudah menyentuh tataran yang lebih tinggi yaitu suatu negara, maka administrasi adalah hal yang mutlak dan mengendalikan semua urusan dalam negara tersebut.
Sementara pihak yang tidak sependapat dengan pemikiran diatas mengatakan bahwa administrasi adalah hal yang sangat dangkal dan tak berubah sejak zaman Yunani Kuno yang maknanya adalah “pengelolaan yang menekankan pada pencatatan” (Riant Nugroho,2001). Menurut kelompok ini, kata administrasi sangat bertentangan dengan kata manajemen yang didalamnya mengembangkan kewajiban untuk “mengelola dengan mengkreasikan nilai”. Pada awalnya istilah managemen memang berasal dari kata “managerie” yang berarti kusir pedati, akan tetapi pada perkembangannya kata ini berubah arti menjadi berarti dimana organisasi dan para pengelolanya dituntut untuk mengkreasikan nilai bagi kostumernya. Milton J Esman (Esman,1991) menyebutkan bahwa hari ini istilah manajemen mengalami apresiasi dibanding administrasi sedemikian rupa sehingga manajemen letaknya diatas dan administrasi menjadi salah satu bagiannya- sebuah kegiatan intrumental yang rutin dari manajemen. Jika ditarik kedalam konteks pengelolaan negara maka menurut kelompok ini yang mutlak untuk di kedepankan dalam menata dan menjalankan negara adalah sisi manajemen.
Akan tetapi terlepas dari perdebatan kedua kubu diatas, sekiranya penting bagi kita saat ini untuk membahas seberapa besar perubahan yang harus dibuat dalam mengoreksi jalannya pemerintahan agar tujuan bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dapat terwujud.
Sebuah kalimat populer yang ditulis oleh Peter.F.Drucker menyentak sebagian besar masyarakat ilmiah yang menggolongkan diri sebagai kampiun penataan sistem suatu negara, betapa tidak, Drucker menyatakan “There is no such underdeveloped country, there is only undermanaged country” (Drucker:1973), kata ini bisa jadi berarti bahwa pada dasarnya negara terbelakang itu sebenarnya tak ada, akan tetapi yang ada hanyalah negara yang salah urus. Hal ini merupakan sebuah kecaman yang menyakitkan bagi banyak pihak, akan tetapi sekaligus memberikan harapan bahwa sebenarnya selalu ada harapan bagi sebuah bangsa untuk maju manakala kelompok yang menjalankan negara tersebut memperbaiki tata kelola yang sudah, sedang maupun akan diterapkan.
Belakangan ini ada beberapa tawaran menarik tentang tatacara mengelola negara, hal ini secara provokatif telah dimulai oleh Osborne-Gaebler (Osborne-Gaebler,1993). Pada dasarnya mereka menyarankan demi efektifitas, sebuah negara dapat dikelola dengan prinsip manajemen yang serupa dengan yang diterapkan dalam perusahaan, disini mereka menekankan tentang perlu adanya upaya untuk mentrasnformasikan entrepreunerial spirit –jiwa kewirausahaan- karena dalam masa dimana sumberdaya publik semakin langka, pemerintah harus berubah dari bureauratic model ke entrepreneuraial model.
Pada dasarnya ada lima prinsip inti pada model ini, mengutip tulisan Vigoda (2003) Fadel Muhammad dalam Reinventing Local Government (2008) menuliskan kelima hal tersebut yakni:
1. sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan yang lebih dekat dengan penerima pelayanan
2. privatisasi dengan mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privat
3. downsizing dengan melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan lingkup organisasi pada struktur pemerintahan
4. debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses
5. manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintahan.

Keberhasilan Fadel Muhammad dalam mengelola Gorontalo kurang lebih adalah adanya keberaniannya dalam mengaplikasikan beberapa hal yang direferensikan oleh penulis penulis kenamaan tersebut, keberhasilan Fadel bisa dilihat dari meningkatnya Human Development Indeks (HDI) Gorontalo yang meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan Masyarakat. Propinsi Gorontalo telah mengalami peningkatan HDI yang cukup signifikan dari 64,1 pada tahun 2002 menjadi 67,7 pada tahun 2006 (Bappeda Gorontalo)

Akan tetapi penerapan kelima hal tersebut, tentu saja masih harus diselaraskan karena ada beberapa ketidak cocokan antara sektor bisnis jika secara langsung diterapkan disektor publik. Hal ini terjadi karena pada dasarnya sektor publik tetap pada khittahnya untuk melayani semua orang tanpa melihat apakah yang dilayani kaya atau miskin, sementara bisnis hanya melihat kepada mereka yang memiliki daya beli saja, organisasi publik tetap pada misinya untuk menciptakan kesejahteraan, sementara bisnis cenderung menciptakan ketimpangan antara yang kuat dan lemah, organisasi publik tetap pada visinya yaitu membangun sebuah lingkungan yang membangun kompetitif, transparan, bertanggung jawab dan adil, sementara bisnis hanya membangun dan kompetitif, dan sulit untuk mempertanggungjawabkan khususnya dalam hal etik dan keadilan (Riant, 2001).
Terlepas dari beberapa hal tersebut diatas, maka ada beberap untung dan rugi dari penerapan pola reinventing yang saat ini sedang menjadi trend, akan tetapi, hal tersebut bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk diterapkan terutama dalam meningkatkan kinerja pelaku pemerintahan terutama dalam mengurangi aktivitas KKN yang menurut sebagian penggiat civil society sudah menjadi suatu hal yang inheren pada tubuh penyelenggara pemerintahan dalam berbagai tingkatan.

Korupsi dan Manajemen Strategis bagi Indonesia

Indonesia, hingga saat menjelang krisis 97/98 dikategorikan sebagai negara berkembang, GDP mencapai 7% pertahun dan kenaikan itu hanya bisa dicapai oleh negara yang memang prestasi ekonominya luar biasa. Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah dari Sabang sampai Merauke ini pada akhirnya ‘terkulai’ manakala gelombang krisis menerpa kawasan Asia Tenggara dan tercatat merupakan negara yang mengalami kebangkrutan terburuk dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Selain persoalan ekonomi makro tersebut, disinyalir ada pula beberapa kesalahan yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia antara lain rendahnya kinerja organisasi publik, sehingga terjadi kegagalan dalam memberikan informasi, data maupun alternatif yang baik dan memadai bagi pembuat kebijakan publik yang berakibat tidak mumpuninya kebijakan yang dikeluarkan oleh para policy maker dinegara ini. Disamping itu, disinyalir terdapat kecenderungan dimana organisasi publik mengambil peran yang tidak tepat atau mengerjakan pekerjaan diluar visi dan misinya sehingga akhirnya organisasi itu sendiri menjadi tidak efisien dan korup. Sad but true, Indonesia dalam penanggulangan korupsi berada diranking paling bawah. Kajian dari Booz-Allen & Hamilton (1999) dari posisi yang paling rendah, yakni 2,15 jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (8,57), Malaysia (7,38), Filipina (7,29) bahkan Thailand (5,18). Juga bukan rahasaia lagi ketika BPK mengungkap betapa besarnya angka korupsi di Indonesia, sebagai illustrasi pada tahun 1999/2000 saja terjadi 926 kasus penyimpangan terhadap semua jenis anggaran keuangan negara senilai 165.80 triliun. Dalam konteks ini rasanya juga relevan untuk mengingatkan bahwa berdasarkan penelitian Booz-Allen & Hamilton tentang Good Governance (GGG) bahwa ternyata Indonesia masih tergolong kedalam negara yang paling rendah dengan indeks good governance kita tercatat 2,8, sementara Singapura 8,9, Malaysia 7,7, Thailand 4,8 dam Filiphina 4,7. Temuan diatas mengindikasikan kepada kita bahwa persoalan transparansi, demokrasi, partisipasi dan KKN sebagai salah satu bahan yang diukur dalam hal GGG ini masih perlu ditingkatkan sebagai langkah untuk keluar dari berbagai macam krisis akibat ketidak percayaan pasar, ketidakpercayaan publik dan kesempatan yang digunakan oleh pihak tertentu demi mendapatkan/menghasilkan kebijakan yang secara umum merugikan rakyat banyak namun menguntungkan pihak- pihak tertentu.
Menawarkan konsep manajemen strategis untuk Indonesia sebagaimana judul diatas merupakan hal mudah sebagai sebuah diskursus, namun menjadi hal yang teramat sukar dalam hal implementasi. Hal ini beralasan karena banyaknya kepentingan yang berseliweran dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Bagaimana tidak, bila bagi sebagian orang strategi yang harus dikembangkan adalah model seperti yang diusulkan oleh Osborne-Gaebler atau yang diadaptasi oleh Fadel Muhammad, namun bagi sebagian kelompok lainnya justru merugikan karena adanya konflik of interest yang mungkin terjadi pada kelompoknya, misalnya saja di sebuah departemen disinyalir sebuah partai mengendalikan dan mengalirkan dana bagi kepentingan partainya, demikian juga pada BUMN-bumn. Akan tetapi dalam kaitannya dengan menangkal, mencegah dan menanggulangi korupsi, sudah diupayakan sejak zaman dahulu, hal ini terbukti dengan bahwa pada tahun 1957 dibuat Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut RI- Nomor: PRT/PM/06/1957 yang mencantumkan istilah korupsi secara yuridis. Pada masa itu, korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian, dan mengabaikan moral. Peraturan dibuat karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat itu tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi.
Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya awal pemerintah dalam menanggulangi korupsi sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Bahkan, pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berbagai kalangan dalam dan luar negeri sudah mengemukakan pendapat mereka tentang korupsi di Indonesia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Disebutkan bahwa daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur korupsi. Bila korupsi diberantas, maka akan merusak arus penyaluran dana itu dan pemerintahan akan hancur.
Secara lebih khusus, jajak pendapat yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan di berbagai kalangan masyarakat menunjukkan korupsi paling banyak dilakukan pada instansi, lembaga atau kegiatan-kegiatan pemerintahan. Berbagai kasus korupsi yang ditemukan telah diteruskan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.
Berdasarkan urauain teoritis dan temuan diatas, langkah yang setidaknya bisa ditempuh dalam rangka menejemen strategik dalam penanggulangan korupsi antara lain:

 Penyempurnaan atau pembaharuan sistem admiistrasu yang belum berjalan sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan semaksimal mungkin menghapus duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan
 Peningkatan kesejahteraan aparatur melalui sistem meritokrasi yang didasarkan atas performance. Kesejahteraan disini harus ditafsrikan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan nono fisik, melalui pemenuhan kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan dan diharapkan akan memperkuat motivasinya dalam melayani kepentingan publik.
 Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kolusi yang relatif sulit dibuktikan. Pembaharuan hukum dimaksudkan sebagai penegakan norma-norma yang tidak hanya mengandalkan pada kebenaran secara textbook dan pembuktian formil, tetapi juga memperhatikan perasaan keadilin dalam masyarakat secara materiil.
 Penegakan konsep GGG secara serius, konsep GGG yang sejak awal sudah diperkenalkan oleh banyak lembaga internasional merupakan suatu intrumen yang terukur, oleh karena itu managemen dan tata kelola pemerintahan sebaiknya menggunakan para meter model GGG yang diikuti dengan transparansi dalam pemanfataan dan segala bentuk eksploitasi somberdaya baik keunagan maupun sumberdaya yang tersedia di dalam negeri.

Penutup

Saat ini, dalam setiap negara modern selalu terdapat tiga organisasi yang menjalankan fungsi dari seluruh kehidupan, yakni organisasi publik, organisasi privat (atau bisnis) dan organisasi nirlaba (NGOs). Secara fungsional kita dapat menebak bahwa organisasi pertama bertumpu pada pelayanan bagi semua pihak tanpa membedakan asal, agama, harta dan segala jenis atribut yang melekat pada setiap orang, sementara organisasi kedua bertujuan secara se-efisien mungkin mencari profit untuk kelangsungan usaha yang tentu saja bisa berakibat baik positif maupun negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang banyak dan organisasi ketiga merupakan organisasi yang lahir dari masyarakat sendiri sebagai koreksi atas belum tercapai atau gagalnya negara atau kekuatan yang menghegemoni suatu bangsa dalam menjalankan tugasnya, adapun tujuannya adalah percepatan menuju masyarakat yang sejahtera.
Dalam perjalannya mungkin saja terjadi gesekan diantara ketiganya akan tetapi masing-masing pihak berjalan sesuai dengan orientasi mereka dan memiliki berbagai kelemahan sebagaimana kekuatan dalam diri mereka. Dalam konteks bernegara, khususnya mencegah terjadinya kerugian negara akibat korupsi dan sejenisnya maka ketiga pihak yang disebutkan diatas dalam batas-batas tertentu bisa dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan khittah masing-masing.
Paparan tentang perlunya re-orientasi pola administrasi dari model konservatif di Indonesia sebagaimana diuraikan panjang lebar diatas, bukanlah sebuah hal yang mutlak untuk diterima, paparan diatas hanyalah sebuah thesis yang perlu dibuktikan efektifitasnya. Keberhasilan beberapa tokoh dunia mulai dari Margareth Tathcer, Bill Clinton dan Fadel Muhammad hanyalah merupakan sebuah contoh kecil tentang berjalannya sistem di atas pada sebuah kluster masyarakat atau kelompok tertentu dan bisa jadi inspirasi lebih luas dapat digali berdasarkan ide diatas. Adapun manajemen strategik yang diusulkan adalah sebagian saja dari sekian banyak jalan keluar dalam mengantisipasi persoalan korupsi yang menggerogoti bangsa, sebagaimana dikatakan Drucker, bahwa sebenarnya tak ada negara yang terbelakang, melainkan hanya salah urus. Oleh karenanya bagi kita tidak ada kata terlambat untuk mencoba sesuatu yang baru tanpa melupakan kearifan lokal yang ada ditanah air dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasaila dan UUD 45.
*****
Penulis adalah Pakar Independen pada Wantannas dan Dewan Pembina pada INSTEAD

Mendorong Kebangkitan Sektor Riil ditengah Krisis Global

Mendorong Kebangkitan Sektor Riil
Ditengah krisis ekonomi Global
M.Azman Fajar


Latar Belakang

Kata krisis ekonomi sebenarnya tidak lagi merupakan suatu hal yang seharusnya mengagetkan bagi bangsa Indonesia, meskipun bisa jadi kata ini tetap merupakan momok bagi setiap bangsa yang fundamental ekonominya belum stabil dan masih tergantung secara langsung pada amplitudo perekonomian dunia. Hal ini harus dipahami demikian karena pada dasarnya kita memang masih berada dijurang krisis dan adanya kontraksi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah gejolak yang menandakan perekonomian berjalan, akan tetapi meskipun terdengar skeptis, Indonesia masih tergolong belum keluar dari realitas krisis manakala kebutuhan pokok seperti beras, minyak dan bahan bakar masih susah didapat, meskipun GNP terlihat meningkat dari tahun ketahun pasca krisis moneter global dan diestimasikan akan mencapai 6,1% pada akhir tahun 2008.
Persoalannya saat ini bagi bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang menganut sistem perekonomian terbuka yang berintegrasi dengan sistem dunia melalui penandatanganan klausul ekonomi melalui WTO, segala sesuatu yang menyangkut pergerakan perekonomian internasional akan membawa gelombang yang mempengaruhi perkenonomian Indonesia juga.
Sebagaimana telah banyak dikaji dalam paper ilmiah keikut sertaan Indonesia pada gerakan ekonomi bernama Globalisasi telah menyeret Indonesia untuk mau tidak mau siap bertarung dalam perekonomian global yang cenderung memihak kepada negara mapan dan setiap saat siap mendestruksi perekonomian negara yang masih harus menata stabilitas perekomian secara fundamental yang menurut kajian Paul Baran dalam The Political Economy of Growth negara Pheri-pheri seperti Indonesia masih sangat tergantung pada laju gerak perkonomian negara yang menjadi pemain utama sistem ekonomi Internasional seperti Amerika, Eropa dan Jepang.
Globalisasi sendiri pada dasarnya tetap harus dilihat tidak lebih dari usaha penguasaan terhadap perekonomian negara dunia ketiga seperti Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin, dalam prosesnya resep jitu yang ditawarkan oleh penggagas globalisasi adalah Structural Adjustment Program (SAP), sebuah term yang digunakan oleh IMF dan World Bank sebagai syarat pencairan utang terhadap lembaga tersebut bagi negara yang terlilit krisis yang pada umumnya adalah implementasi program dan kebijakan "free market"
Penekanan program gerakan globalisasi pada beberapa hal seperti Liberalisasi, Privatisasi dan Deregulasi yang kemudian di ikuti dengan terintegrasinya sistem ekonomi Indonesia yang didasarkan pada perekonomian rakyat berdasarkan pancasila kepada sistem ekonomi global telah sedikit demi sedikit menjauhkan pemerintah dari rakyatnya, Penjualan asset BUMN yang bersifat strategis kepada pihak asing diawal awal krisis gelombang I pada akhir tahun 90an hingga zaman presiden Megawati berkuasa guna menutupi defisit APBN yang sejak semula ditentang banyak pihak, kini saat ini telah pula membuat pemerintah kalang kabut untuk melakukan buyback yang disinyalir akan mengeluarkan dana puluhan triliun yang notabenenya didapat dari rakyat
Persoalan ekonomi regional yang saat ini menguat juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang dituntut unutk siap berkompetisi dengan negara lain dalam kawasan, misalnya saja, dalam hal komoditi karet dan kelapa sawit, kita harus bersaing dengan Malaysia, dalam hal Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kita harus bersaing keras dengan Vietnam, India, Cambodia dan pemain terkuat China, untuk produk pertanian, Thailand dan Vietnam adalah negara yang juga harus kita perhitungkan dalam hal ekspor pertanian dan olahan hasil laut.

Dinamika Seltor Riil

Sulit untuk diingkari bahwa sesungguhnya Indonesia sejak krisis moneter I pada akhir tahun 90an sebenarnya ditopang oleh sektor riil. Meskipun sejak sama pemerintahan Presiden Soeharto yang mengedepankan peran sektor jasa yanng sealigus menganak tirikan sektor riil tetap saja penyelamat perekonomian Indonesia telah diselamatkan oleh sektor yang termasuk dalam klsifikasi tidak sexy ini
Data BPS tahun 2007 menunjukan bahwa sektor rril yang di gawangi oleh sektor pertanian adalah tiang utama dari perekonomian, disusul oleh sektor manufaktur, sementara sektor jasa tidak memperlihatkan peran yang signifokan dalam penguatan stabilitas perekonomian bangsa. Kenyataan ini bisa dilihat pada Table I
Table I:EMPLOYMENT by Activity

Sector 2006 2007
Agriculture 40.1 41.2
Industry 11.9 12.4
Construction 4.7 5.2
Trade 19.2 20.6
Transportation 5.7 6.0
Finance 1.4 1.4
Others* 12.5 13.2
Total 95.5 99.9


Dalam suatu tulisan berjudul Reorientasi Paradigma Ekonomi DR. Ivan A. Hadar mengemukakan “Pernyataan tentang kuatnya fundamental ekonomi kita, pernah dilontarkan ketika tanda-tanda krisis moneter mulai melanda Asia pada 1997. Kenyataannya, cerita sukses makro ekonomi pemeritahan Orde Baru seakan bubble yang dalam sekejap meletup meninggalkan krisis berkepanjangan yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Ungkapan diatas, seakan mendapat legitimasi ketika Amerika terkena krisis perekonomian yang diperkirakan masih akan berkelanjutan dan telah secara langsung dirasakan oleh Indonesia. Oleh karena itu, saat ini Indonesia secara serius menggarap sektor riil dalam membangun perekonomian karena sebagaimana biasanya sektor riil menjadi pembicaraan manakala terjadi krisis dan serta merta dilupakan ketika keadaan dianggap cenderung stabil.
Sebuah data yang kembali diungkap oleh BPS memperlihatkan lagi bagaimana potensialnya kekuatan sektor informal. Penyerapan tenaga kerja oleh Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan tetap mendominasi pertumbuhan ekonomi dan hanya mampu diikuti oleh sektor Industri lainnya yaitu Industri manufaktur yang juga bersifat padat karya., setidaknya hal ini terjadi hingga awal 2009.
Tabel II dibawah menggambarkan pemaparan diatas






Tabel II: Jumlah angkt kerja berdasarkan sektor kerja
No Main Industry 2006 (Feb) 2006 (Agust) 2007 (Feb) 2007 (Agt) 2008 (Feb)

1. Agriculture, Forestry, Hunting and Fishery 42 323 190 40 136 242 42 608 760 41 206 474 42 689 635
2. Mining and Quarrying 947 097 923 591 1 020 807 994 614 1 062 309
3. Manufacturing Industry 11 578 141 11 890 170 12 094 067 12 368 729 12 440 141
4. Electricity, Gas, and Water 207 102 228 018 247 059 174 884 207 909
5. Construction 4 373 950 4 697 354 4 397 132 5 252 581 4 733 679
6. Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurants and Hotels 18 555 057 19 215 660 19 425 270 20 554 650 20 684 041
7. Transportation, Storage, and Communications 5 467 308 5 663 956 5 575 499 5 958 811 6 013 947
8. Financing, Insurance, Real Estate and Business Services 1 153 292 1 346 044 1 252 195 1 399 940 1 440 042
9. Community, Social, and Personal Services 10 571 965 11 355 900 10 962 352 12 019 984 12 778 154

Total 95 177 102 95 456 935 97 583 141 99 930 217 102 049 857

Source: National Labour Force Survey 2006 and 2007



Optimalisasi Sektor Riil

Saat ini diskurus tentang sektor riil mengemuka lagi dan sekali lagi sektor riil diharapkan akan mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia ditengah ancaman krisis global. Sebuah kata yang cukup tepat untuk menggambarkan fenomena ini mungkin sektor riil adalah the savior on the last resort.
Ada beberapa strategi instant yang sekiranya perlu dilakukan dalam mendorong sektor riil agar mampu lebih berperan dalam memperkuat bangunan ekonomi bangsa misalnya;
1. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas yang berupa kemudahan bagi sektor riil yang potensial dalam mengakses dana dengan cara melakukan asessment terlebih dahulu terhadap pelaku ekonomi sektor ini. penilaian yang obyektif ini tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi akan lebih efektif jika memanfaatkan jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang pengembangan sektor ekonomi berbasis kerakyatan yang kemudian memberikan sertifikasi kepada pelaku ekonomi informal yang diendorse oleh pemerintah melalui departemen terkait seperti Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah, Depertemen Kelautan, Departemen Perdagangan atau instansi terkait. Dengan cara ini pemerintah akan tahu tentang berapa banyak pelaku sektor riil yang seharusnya dibantu secara finansial dan diharapkan secara moral pelaku sektor ini akan mengetahui kewajibannya dalam memperkuat perekonomian melalui apa yang mereka kerjakan
Sebagai regulator, pemerintah diharapkan aktif memberikan himbauan kepada pihak perbankan untuk terlibat dalam pembiayaan seltor riil sehingga beban pemerintah diharapkan dapat dibagi kepada sektor Perbankan dan Pembiayaan di Indonesia yang hingga saat ini dikenal mampu melaksanakan kegiatan apapun akan tetapi tidak pernah mampu melaksanakan fungsi utamanya yaitu: Menyalurkan Pinjaman Usaha secara serius.

2. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang menjamin bahwa sektor riil baik yang bersifat formal maupun informal akan diperlakukan secara adil yang didasarkan atas prinsip kesetaraan. Ini penting dilakukan oleh pemerintah karena dengan terintegrasinya Indonesia kedalam Globaliasi, perlindungan kepada pelaku usaha menjadi hal yang diharamkan. Oleh karenanya pemerintah sebagai regulator seharusnya berperan secara maksimal dalam memacu pertumbuhan pelaku industri sektor riil secara tidak langsung melalui regulasi yang bersifat lebih pro-rakyat.

3. Pemerintah perlu meningkatkan penggalian potens berbasis pertanian, kelautan dan pemanfaatan hasil hutan dengan mengedepankan pada high end products. Selama ini pemerintah seakan tutup mata pada sektor ini dan membiarkan mereka berjuang, bertarung dalam kerasnya persaingan global. Dengan cara ini diharapkan akan ada value added yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi sektor pertanian, kelautan dan hasil hutan. Nilai tambah dari sektor ini dapat diperoleh dengan cara menyediakan technologi pengalengan yang baik bagi produk pertanian yang melimpah di Indonesia, misalnya saja mendirikan pabrik pengolahan dan pengalengan Nenas, Rambutan, Nata de Coco, dll, di wilayah yang menghasilkan produk ini, pengalengan Ikan dan hasil laut lainnya di daerah yang memiliki potensi perikanan laut yang tinggi di banyak pelosok kepulauan Indonesia serta penting juga bagi Indonesia untuk mengolah hasil hutan berupa kayu dan sejenisnya sebelum diekspor keluar negeri.

4. Pemerintah perlu menyesuaikan kembali belanja APBN dan APBD. Selama ini masyarakat “melek ekonomi” sering kali menyoroti belanja APBN dan APBD pemerintah yang disinyalir tidak terlalu akrab dengan pengembangan sektor produktif, ditengarai APBN/APBD sepertiganya dibelanjakan untuk hal-hal yang lebih bersifat proyek mercusuar dan hanya mengedepankan pemenuhan fasilitas bagi penyelenggara pemerintahan di wilayah bersangkutan. Barangkali ada baiknya apabila belanja sektor infrastruktur yang selama ini sudah dilakukan oleh pengelola APBN/APBD juga memperhatikan kebutuhan akan pengembangan usaha bagi sektor riil. Apabila ini berhasil dilaksanakan bukan tidak mungkin pembangunan yang dimulai dari daerah akan memperkuat perekonomian daerah secara keseluruhan. Kisah Sukses Fadel Muhammad di Gorontalo dengan menerapkan system Reinventing Local Government sedikit banyak memperlihatkan hal itu, tidak termasuk jika kita mau juga belajar dari Amerika Latin bagaimana pembangunan dari perkonomian dari Propinsi telah sejak awal dilakukan oleh tokoh kontroversial Fidel Castro dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi Cuba dari pengaruh kekuatan ekonomi Amerika yang ia tunding sebagai pengaruh buruk dalam perekonomian internasional.
Penempatan dana APBD beberapa daerah pada Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia adalah sebuah contoh bagaimana pemerintah daerah enggan memanfaatkan dana untuk membantu berkembangnya perekonomian dan lebih melihat faktor bunga dari SBI sebagai bentuk investasi yang profitable dangan melupakan beban negara yang harus dibayar kepada pemegang sertifikat dan stagnannya pembangunan sektor riil di daerah. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika sekiranya pemerintah memberlakukan ketetunan yang lebih ketat mengenai hal ini.

5. Pemerintah menyerukan dan memberi contoh pemakaian/konsumsi produk lokal. Tindakan ini penting dilakukan karena terbukti dapat meningkatkan hasil produksi dalam negeri dan secara signifikan meningkatkan geliat ekonomi domestik. Contoh nyata yang masih segar dalam ingatan kita adalah adanya peningkatan pada produk TPT yaitu meningkatnya industri pakaian jadi manakala pemerintah menyontohkan kepada masyarakat untuk memakai pakaian Batik sebagai pakaian kebanggaan nasional. Meskipun tidak se-bombastis income hasil ekspor ke luar negeri, tetapi hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena sendi-sendi kehidupan dan perkembangan sektor riil dibidang ini menunjukan grafik yang semakin baik. Dalam scala yang lebih luas, perlu kiranya pemerintah merkaca pada pemerintah India, Elit politik dinegara ini menyatakan tidak tertarik menggunakan kendaraan buatan Eropa dan Jepang sebagai kendaraan operasional meskipun menjanjikan kenyamanan dan keamanan dan sebagai gantinya mereka berlomba-lomba menggunakan mobil produk dalam negeri meskipun tidak luxurous produk luar. Bagaimana dengan Indonesia? Berapa biaya yang dikeluarkan untuk fasilitas seperti ini?

6. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberlakukan secara efekif pajak progresif guna menopang pembangunan daripada terus menerus mengandalkan investasi asing yang rentan mempengaruhi perkonomian bangsa manakala gejolak moneter internasional terjadi seperti saat ini. Langkah ini masih mungkin dilakukan oleh pemerinah mengingat rasio antara pembayar pajak dan penerimaan negara hanya berkisar pada angka 30%. Ini berarti masih sangat mungkin ditingkatkan dan akan menjadi alternatif pembangunan apabila dikelola secara terbuka dan mampu dipertanggung jawabkan sebagaimana yang banyak terjadi pada negara-negara skandinavia.


Penutup
Secara garis besar kita bisa melihat bahwa sebenarnya apabila strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan ditopang sepenuhnya oleh pelaku ekonomi baik sektor riil atau jasa akan mampu mengurangi dampak dari krisis moneter global yang terjadi. Hal ini hanya akan berjalan jika pemerintah beserta lembaga pembiayaan yang ada. Belakangan ini penyimpanan dana perbankan dalam bentuk portofolio bank sentral semakin banyak. Salah satunya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, ketika itulah peran para bankir dipertanyakan karena dinilai tidak produktif, terutama terhadap sektor riil. Bisnis inti perbankan pada dasarnya adalah penyaluran kredit dan bukan penempatan dana pada portofolio bank sentral. Jika masih banyak penempatan dana pada portofolio, profesionalisme bank yang bersangkutan dapat dikatakan kurang baik dan bisa digolongkan sebagai profit taker semata tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional.

Ketergantungan sistem ekonomi Indonesia yang terintegrasi kepada perekonomian dunia bukan berarti bahwa kita tidak bisa merubah sistem perekonomian kita menjadi perekonomian yang didasarkan atas kemandirian dan usaha dalam negeri. Sistem perekonomian yang dipacu dari masuknya investasi asing meskipun dipandang sebagai cara yang gampang dalam menggerakan perekonomian juga sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang pada gilirannya akan berimbas pada perkonomian dalam negeri. Dalam hal ini penggalian sumber dana alternatif harus se-kreatif mungkin dilakukan tanpa memberati rakyat yang hingga saat ini masih lebih banyak menjadi korban pembangunan daripada penikmat hasil pembangunan.
Penindak tegasan pada aktor yang merugikan negara juga merupakan hal yang harus ditindak, fenomena spekulan dadakan yang memanfaatkan kejatuhan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar atau Euro harus dilihat sebagai upaya menggembosi perekonomian nasional dan guna mencegah hal ini pemerintah perlu mengembangkan peraturan yang mengakomodir hal ini.
Good will pada akhirnya adalah kunci utama dari pelaksanaan strategi pembangunan kekuatan ekonomi yang sebaiknya disusun dalam bentuk pola perekonomian jangka panjang. Sistem perekonomian ad hoc tidak terbukti memiliki ketahanan yang baik manakala dihadapkan pada realitas krisis yang mendadak muncul. Dan seperti yang pernah dialami oleh Indonesia, strategi apapun yang ditetapkan tidak lah bisa menjadi panachea yang menyelesaikan kemelut perekonomian secara instant, resep dari lembaga keungan yang pernah diterapkan justru memperparah kondisi perekonomian. Oleh karena itu kiranya kedepan penting bagi pemerintah untuk benar-benar serius menjalankan ekonomi yang didasarkan pada konsep yang diawali oleh semangat untuk keluar dari kemelut yang sudah inheren pada bangsa Indonesia…Semoga!
*****
* Penulis adalah Pembina pada INSTEAD