Selasa, 02 Desember 2008

Skenario Meliberalisasi Upah Buruh

Timboel Siregar

Keinginan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofyan Wanandi untuk menafikan keberadaan upah minimum dengan mengusulkan kenaikan upah tiap tahunnya berdasarkan inflasi (Suara Pembaruan, Kamis 29 Juli 2004). Hal  tersebut, merupakan sinyalemen dan kampanye terbuka dalam menekan kenaikan upah minimum menjelang bekerjanya Komisi Pengupahan yang akan dirumuskan upah minimum provinsi/kabupaten/kota.
Seperti biasanya Komisi Pengupahan di masing-masing provinsi dan kabupatan/kota sudah mulai bekerja pada awal bulan Agustus ini dan, seperti biasanya juga, baik pihak pengusaha maupun buruh selalu menunggu hasil Komisi Pengupahan ini dengan berbagai harapan dan kecemasan. Pihak pengusaha berharap kenaikan upah minimum tidak tinggi karena akan mempengaruhi naiknya labor cost, sementara itu buruh selalu dirudung kecemasan karena upah di tahun depan tetap tidak akan mencukupi untuk menghidupi dirinya dan atau keluarganya dengan layak.
Dapat dikatakan bahwa sebagian besar permasalahan antara buruh dan pengusaha terjadi karena masalah upah. Karena seringnya muncul permasalahan akibat upah maka upah buruh sering dijadikan indikator utama untuk menentukan adanya hubungan industrial yang harmonis antara buruh dan pengusaha. Walaupun sudah ada ketentuan upah minimum yang ditetapkan namun masih banyak pengusaha yang enggan untuk menerapkan upah minimum tersebut. Walaupun sudah ada ketentuan tentang tata cara perhitungan upah lembur yang tertuang dalam Permenaker no.72 tahun 1984 namun banyak pengusaha yang tidak mau menerapkannya, dsb.
Upah minimum diciptakan sebagai bentuk perlindungan negara terhadap buruh akibat adanya ketidakseimbangan Supply dan Demand di pasar tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan peran negara yang harus menjalankan peran etis dan pragmatis yaitu dengan menjalankan fungsi Custodian untuk melindungi, mengawasi dan mencegah terjadinya perilaku ekonomi tertentu yang dipandang merugikan rakyat (Evans, 2000). Keberadaan konsep upah minimum telah lama digunakan di dunia ini. Di Amerika Serikat sendiri, konsep ini telah dituangkan dalam Fair Labor Standard Act tahun 1938.
Namun demikian, sejalan dengan proses globalisasi, yang ditandai dengan makin maraknya pengaruh ideologi Neoliberalisme, keberadaan instrumen upah minimum sepertinya sudah tidak “disenangi� lagi oleh para pengusaha. Pemilik modal lebih senang untuk mengadopsi sistem fleksibiltas di bidang pengupahan (Wage System Flexibility) untuk menjamin keberlangsungan usahanya. Upah minimum diyakini sebagai instrumen yang dapat menghambat berlakunya Wage System Flexibility.
Untuk lebih menjamin berlakunya sistem pengupahan yang fleksibel tersebut, kerap kali para pengusaha berusaha “meracuni� pikiran para birokrat kita dengan berbagai cara agar pemerintah tidak lagi campur tangan dalam penetapan upah buruh. Pemerintah diposisikan untuk tidak lagi berfungsi melindungi kaum buruh. Peran etis dan pragmatis pemerintah harus disesuaikan dengan kondisi pasar yang fleksibel.
Dalam kenyataannya memang pemerintah/negara sangat memanjakan pemilik
modal untuk berinvestasi di Indonesia, sementara itu negara melakukan kontrol ketat terhadap buruh. Upah buruh yang murah tetap menjadi penawaran indah negara terhadap pemodal. Secara grafis dapat digambarkan hubungan Negara–Pemodal–Buruh, yang mencerminkan kondisi real saat ini.
Walaupun secara etis dan pragmatis pemerintah harus melindungi para buruh, namun lambat laun fungsi tersebut mulai ditinggalkan, tidak hanya secara operasional tetapi juga sudah secara terang-terangan dikemukakan dan dikampanyekan. Fakta tentang keberpihakan pemerintah kepada pengusaha atas keberadaan upah minimun ditunjukkan melalui pernyataan beberapa perwakilan pemerintah yang dikemukakan di depan umum, seperti yang dikatakan oleh Direktur Pengupahan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diucapkan dalam sebuah seminar di Bogor), Bambang Widianto dari Bappenas dan Slamet Sutomo dari BPS (dalam sebuah seminar tentang pengupahan) yang menginginkan agar penentuan upah buruh ditentukan saja oleh pengusaha dan buruh (serikat buruh) melalui negosiasi Bipartit di masing-masing perusahaan.
Apa artinya ini? Hal ini berarti bahwa mereka menginginkan agar pemerintah tidak lagi berperan dalam penentuan upah minimum. Mereka menginginkan upah ditentukan secara bebas (liberal) oleh pekerja dan pengusaha, karena dua pihak inilah yang mengetahui kondisi keuangan perusahaan, demikian alasan yang diucapkan untuk mendukung ide ini.
Gayung bersambut, keinginan Ketua Umum Apindo Sofyan Wanandi di atas dan keinginan para birokrat kita ternyata seirama. Mereka bersepakat untuk meliberalkan penentuan upah buruh di Indonesia, walaupun dengan caranya masing-masing.
Apa implikasi liberalisasi upah ini? Dengan kondisi Supply dan Demand di pasar tenaga kerja yang tidak berimbang ditambah dengan tingkat SDM buruh yang masih rendah maka tingkat upah akan cenderung menurun. Tingginya tingkat pencari kerja dan SDM yang rendah akan dijadikan alasan untuk menekan biaya upah buruh. Implikasi lainnya adalah, bila dalam negosiasi Bipartit tidak tercapai kesepakatan, maka penentuan upah akan ditentukan oleh Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial, sesuai dengan aturan yang terdapat dalam UU no.2 tahun 2004 (UU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial) yang akan berlaku mulai Januari 2005.
Hakim Ad-Hoc akan menetapkan apakah ada kenaikan upah atau tidak, dan berapa besar kenaikan upah tersebut. Di sinipun sudah jelas terlihat juga bahwa proses penyelesaian perselisihan antara buruh (serikat buruh) dengan pengusaha dilakukan secara liberal melalui mekanisme pengadilan. Perselingkuhan sangat berpotensi melebar dengan terlibatnya pihak yudikatif dalam penyelesaian masalah-masalah perburuhan.
Kenyataan adanya keinginan untuk meliberalisasikan penentuan upah buruh, baik oleh pengusaha dan pemerintah, akan membuat semakin runyamnya kondisi hubungan industrial kita ke depan. Kondisi ini juga akan diperparah lagi dengan tidak adanya keinginan serius dari pemerintah untuk mengajukan konsep KHL (Kebutuhan Hidup Layak) sebagai indikator dalam penentuan upah buruh di Indonesia. Pemerintah hanya puas dengan mengajukan konsep KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), seperti yang tertuang dalam Surat Edaran Menakertrans Jacob Nuwa Wea tangal 16 Juli 2004.
Agenda Serikat Buruh ke Depan
Penting diyakinkan dalam tulisan ini bahwa realitas pengupahan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan kaum buruh. Permasalahan pengupahan yang ada selama ini tidak hanya disebabkan oleh pemerintah dan pengusaha saja, tetapi juga karena faktor kekurangsiapan serikat buruh itu sendiri dalam melakukan negosiasi.
Paling tidak ada tiga masalah penting yang menjadi kendala bagi serikat buruh dalam meningkatkan upah buruh, yaitu pertama, masih kurangnya pengetahuan dan skill yang dimiliki oleh wakil serikat buruh yang duduk di Komisi Pengupahan, seperti pengetahuan tentang metode pengukuran tingkat hidup layak buruh beserta komponen-komponennya, daya beli buruh, tingkat inflasi real, hingga kurangnya kemampuan bernegosiasi.
Kedua, kurang terkonsolidasinya gerakan serikat buruh. Hal ini berdampak kepada kurang kompaknya wakil serikat buruh di Komisi Pengupahan. Mereka sering beranggapan bahwa kehadiran mereka di sana sebagai wakil organisasi bukan sebagai wakil buruh. Sikap ini membuka peluang adanya kolusi antara wakil buruh dengan pengusaha. Dan ketiga, adanya peraturan-peraturan perburuhan yang mendukung terciptanya kondisi kerja yang fleksibel dan liberal, seperti UU no. 13 tahun 2003 dan UU no.2 tahun 2004.
Kendala-kendala di atas memang sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Namun demikian adalah tugas serikat buruh untuk menjawab masalah tersebut. Untuk permasalahan pertama, perlu kiranya dilakukan proses rekrutmen wakil serikat buruh yang akan duduk di Komisi Pengupahan melalui proses fit and proper test yang dilakukan oleh komunitas serikat buruh dan buruh, sehingga ada suatu jaminan bahwa yang duduk di sana adalah orang-orang yang kredibel. Untuk permasalahan kedua, bahwa seluruh serikat buruh harus bisa meninggalkan ego masing-masing dan melihat permasalahan pengupahan sebagai permasalahan bersama.
Selain itu perlu juga dilakukan pengawasan/kontrol atas kinerja wakil buruh di Komisi Pengupahan, guna mengeliminir potensi terjadinya KKN. Dan untuk masalah ketiga, seluruh serikat buruh harus menyadari bahwa kondisi perburuhan saat ini sedang dibawa ke arah liberal untuk melayani kebutuhan pasar bebas. Oleh sebab itu perlu terus dilakukan kampanye-kempanye positif untuk meyakinkan masyarakat, pengusaha dan pemerintah bahwa buruh bukanlah komoditi tetapi manusia yang memiliki hak asasi untuk bekerja dan mendapat upah yang layak.
* Penulis adalah Wakil Presiden OPSI

Tidak ada komentar: