Selasa, 02 Desember 2008

Pengembangan Displin Dalam tata Kelola Aset Bangsa


Azman Fajar. MA

“Its not only democracy that makes people welfare, its discipline”
(Lee Kuan Yew)

Demikianlah keyakinan Lee Kuan Yew ketika membangun Singapura pada masa pemerintahannya, atas dasar keyakinannya itulah Lee secara perlahan mewujudkan Singapura menjadi negara yang maju secara ekonomi, beradad secara etika dan memiliki nilai tawar yang tinggi dimata dunia internasional meskipun negara ini luasnya hanyalah sebesar sebongkah sebuah pulau jika dibandingkan dengan tanah air kita, Indonesia.
Sebagai konsekunsi dari pelaksanaan sistem yang diterapkan tersebut maka kita melihat bahwa Lee berhasil membawa Singapore menjadi negara terunggul di Asia Tenggara, sekaligus membuat Singapura mendapatkan sebutan sekaligus cemoohan sebagai “Kota Denda” (Fine City), betapa tidak segala sesuatu di Singapura pada masa awal penerapan disiplin ala Lee yang disetarakan tingkat otoriteriannya dengan Soeharto, Marcos dan Mahathir menyertakan sanksi atas ketidak patuhan warganya. Gerbrakan Lee yang dimulai dari merubah kebiasaan masyarakat meludah sembarangan, merokok disembarang tempat hingga sanksi atas pelanggaran hukum lainnya telah membuat masyarakat mau tidak mau patuh guna menghindari denda yang diberlakukan. Akan tetapi adagium diatas tidak seratus persen dapat diterima oleh semua orang, terutama akibat adanya pembatasan dalam banyak hal misalnya saja, masyarakat tidak bisa menikmati derasnya arus informasi yang mengalir baik melalui radio, televisi maupun internet. Akhirnya yang terjadi adalah pertarungan antara nilai universal bernama demokrasi vesus disiplin yang inheren dengan otoriterianism.
Bagaimana dengan di Indonesia?, pemaraparan panjang dan lebar mungkin sudah tidak diperlukan karena kita mengalaminya sendiri, bahkan kita mungkin lebih tahu proses manajemen bangsa kita dan apa yang membuat banyak hal disini menjadi bias, berhasil bagi sebagian orang, kelompok atau regional atau malah mandul sama sekali.
Artikel ini tidak akan membandingkan antara pengelolaan atau manajemen ala Singapura atau ala Indonesia, akan tetapi mencoba melihat dan mencari solusi atas apa yang terjadi di Indonesia dengan referensi yang setidaknya memetakan kondisi kita guna mencari solusi yang lebih tepat unutk bangsa yang kita cintai ini.

Administrasi atau Manajemen Strategis
Akhir-akhir ini terjadi pergulatan yang cukup seru antara penganut dua paham seperti yang disebutkan pada sub-judul, aliran administrasi meyakini bahwa segala sesuatu didasarkan atas administrasi, dikatakan bahwa sejak pertama kali melihat matahari seorang bayi sudah berhadapan dengan persoalan administrasi yaitu bahwa sang bayi harus segera didata, diberi pengenal pada kaki mungilnya, diberikan tanda kenal lahir dan setelah beberapa saat harus memiliki akte kelahiran, dan seterusnya. Jadi kesimpulannya Administrasi adalah hal yang mutlak pada segala hal apalagi jika sudah menyentuh tataran yang lebih tinggi yaitu suatu negara, maka administrasi adalah hal yang mutlak dan mengendalikan semua urusan dalam negara tersebut.
Sementara pihak yang tidak sependapat dengan pemikiran diatas mengatakan bahwa administrasi adalah hal yang sangat dangkal dan tak berubah sejak zaman Yunani Kuno yang maknanya adalah “pengelolaan yang menekankan pada pencatatan” (Riant Nugroho,2001). Menurut kelompok ini, kata administrasi sangat bertentangan dengan kata manajemen yang didalamnya mengembangkan kewajiban untuk “mengelola dengan mengkreasikan nilai”. Pada awalnya istilah managemen memang berasal dari kata “managerie” yang berarti kusir pedati, akan tetapi pada perkembangannya kata ini berubah arti menjadi berarti dimana organisasi dan para pengelolanya dituntut untuk mengkreasikan nilai bagi kostumernya. Milton J Esman (Esman,1991) menyebutkan bahwa hari ini istilah manajemen mengalami apresiasi dibanding administrasi sedemikian rupa sehingga manajemen letaknya diatas dan administrasi menjadi salah satu bagiannya- sebuah kegiatan intrumental yang rutin dari manajemen. Jika ditarik kedalam konteks pengelolaan negara maka menurut kelompok ini yang mutlak untuk di kedepankan dalam menata dan menjalankan negara adalah sisi manajemen.
Akan tetapi terlepas dari perdebatan kedua kubu diatas, sekiranya penting bagi kita saat ini untuk membahas seberapa besar perubahan yang harus dibuat dalam mengoreksi jalannya pemerintahan agar tujuan bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 45 dapat terwujud.
Sebuah kalimat populer yang ditulis oleh Peter.F.Drucker menyentak sebagian besar masyarakat ilmiah yang menggolongkan diri sebagai kampiun penataan sistem suatu negara, betapa tidak, Drucker menyatakan “There is no such underdeveloped country, there is only undermanaged country” (Drucker:1973), kata ini bisa jadi berarti bahwa pada dasarnya negara terbelakang itu sebenarnya tak ada, akan tetapi yang ada hanyalah negara yang salah urus. Hal ini merupakan sebuah kecaman yang menyakitkan bagi banyak pihak, akan tetapi sekaligus memberikan harapan bahwa sebenarnya selalu ada harapan bagi sebuah bangsa untuk maju manakala kelompok yang menjalankan negara tersebut memperbaiki tata kelola yang sudah, sedang maupun akan diterapkan.
Belakangan ini ada beberapa tawaran menarik tentang tatacara mengelola negara, hal ini secara provokatif telah dimulai oleh Osborne-Gaebler (Osborne-Gaebler,1993). Pada dasarnya mereka menyarankan demi efektifitas, sebuah negara dapat dikelola dengan prinsip manajemen yang serupa dengan yang diterapkan dalam perusahaan, disini mereka menekankan tentang perlu adanya upaya untuk mentrasnformasikan entrepreunerial spirit –jiwa kewirausahaan- karena dalam masa dimana sumberdaya publik semakin langka, pemerintah harus berubah dari bureauratic model ke entrepreneuraial model.
Pada dasarnya ada lima prinsip inti pada model ini, mengutip tulisan Vigoda (2003) Fadel Muhammad dalam Reinventing Local Government (2008) menuliskan kelima hal tersebut yakni:
1. sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan yang lebih dekat dengan penerima pelayanan
2. privatisasi dengan mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privat
3. downsizing dengan melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan lingkup organisasi pada struktur pemerintahan
4. debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses
5. manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintahan.

Keberhasilan Fadel Muhammad dalam mengelola Gorontalo kurang lebih adalah adanya keberaniannya dalam mengaplikasikan beberapa hal yang direferensikan oleh penulis penulis kenamaan tersebut, keberhasilan Fadel bisa dilihat dari meningkatnya Human Development Indeks (HDI) Gorontalo yang meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan Masyarakat. Propinsi Gorontalo telah mengalami peningkatan HDI yang cukup signifikan dari 64,1 pada tahun 2002 menjadi 67,7 pada tahun 2006 (Bappeda Gorontalo)

Akan tetapi penerapan kelima hal tersebut, tentu saja masih harus diselaraskan karena ada beberapa ketidak cocokan antara sektor bisnis jika secara langsung diterapkan disektor publik. Hal ini terjadi karena pada dasarnya sektor publik tetap pada khittahnya untuk melayani semua orang tanpa melihat apakah yang dilayani kaya atau miskin, sementara bisnis hanya melihat kepada mereka yang memiliki daya beli saja, organisasi publik tetap pada misinya untuk menciptakan kesejahteraan, sementara bisnis cenderung menciptakan ketimpangan antara yang kuat dan lemah, organisasi publik tetap pada visinya yaitu membangun sebuah lingkungan yang membangun kompetitif, transparan, bertanggung jawab dan adil, sementara bisnis hanya membangun dan kompetitif, dan sulit untuk mempertanggungjawabkan khususnya dalam hal etik dan keadilan (Riant, 2001).
Terlepas dari beberapa hal tersebut diatas, maka ada beberap untung dan rugi dari penerapan pola reinventing yang saat ini sedang menjadi trend, akan tetapi, hal tersebut bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk diterapkan terutama dalam meningkatkan kinerja pelaku pemerintahan terutama dalam mengurangi aktivitas KKN yang menurut sebagian penggiat civil society sudah menjadi suatu hal yang inheren pada tubuh penyelenggara pemerintahan dalam berbagai tingkatan.

Korupsi dan Manajemen Strategis bagi Indonesia

Indonesia, hingga saat menjelang krisis 97/98 dikategorikan sebagai negara berkembang, GDP mencapai 7% pertahun dan kenaikan itu hanya bisa dicapai oleh negara yang memang prestasi ekonominya luar biasa. Akan tetapi sayangnya hal tersebut tidak berlangsung lama. Negara yang memiliki kekayaan alam melimpah dari Sabang sampai Merauke ini pada akhirnya ‘terkulai’ manakala gelombang krisis menerpa kawasan Asia Tenggara dan tercatat merupakan negara yang mengalami kebangkrutan terburuk dibandingkan negara di Asia Tenggara lainnya. Selain persoalan ekonomi makro tersebut, disinyalir ada pula beberapa kesalahan yang dilakukan oleh negara berkembang seperti Indonesia antara lain rendahnya kinerja organisasi publik, sehingga terjadi kegagalan dalam memberikan informasi, data maupun alternatif yang baik dan memadai bagi pembuat kebijakan publik yang berakibat tidak mumpuninya kebijakan yang dikeluarkan oleh para policy maker dinegara ini. Disamping itu, disinyalir terdapat kecenderungan dimana organisasi publik mengambil peran yang tidak tepat atau mengerjakan pekerjaan diluar visi dan misinya sehingga akhirnya organisasi itu sendiri menjadi tidak efisien dan korup. Sad but true, Indonesia dalam penanggulangan korupsi berada diranking paling bawah. Kajian dari Booz-Allen & Hamilton (1999) dari posisi yang paling rendah, yakni 2,15 jauh lebih rendah dibandingkan Singapura (8,57), Malaysia (7,38), Filipina (7,29) bahkan Thailand (5,18). Juga bukan rahasaia lagi ketika BPK mengungkap betapa besarnya angka korupsi di Indonesia, sebagai illustrasi pada tahun 1999/2000 saja terjadi 926 kasus penyimpangan terhadap semua jenis anggaran keuangan negara senilai 165.80 triliun. Dalam konteks ini rasanya juga relevan untuk mengingatkan bahwa berdasarkan penelitian Booz-Allen & Hamilton tentang Good Governance (GGG) bahwa ternyata Indonesia masih tergolong kedalam negara yang paling rendah dengan indeks good governance kita tercatat 2,8, sementara Singapura 8,9, Malaysia 7,7, Thailand 4,8 dam Filiphina 4,7. Temuan diatas mengindikasikan kepada kita bahwa persoalan transparansi, demokrasi, partisipasi dan KKN sebagai salah satu bahan yang diukur dalam hal GGG ini masih perlu ditingkatkan sebagai langkah untuk keluar dari berbagai macam krisis akibat ketidak percayaan pasar, ketidakpercayaan publik dan kesempatan yang digunakan oleh pihak tertentu demi mendapatkan/menghasilkan kebijakan yang secara umum merugikan rakyat banyak namun menguntungkan pihak- pihak tertentu.
Menawarkan konsep manajemen strategis untuk Indonesia sebagaimana judul diatas merupakan hal mudah sebagai sebuah diskursus, namun menjadi hal yang teramat sukar dalam hal implementasi. Hal ini beralasan karena banyaknya kepentingan yang berseliweran dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia. Bagaimana tidak, bila bagi sebagian orang strategi yang harus dikembangkan adalah model seperti yang diusulkan oleh Osborne-Gaebler atau yang diadaptasi oleh Fadel Muhammad, namun bagi sebagian kelompok lainnya justru merugikan karena adanya konflik of interest yang mungkin terjadi pada kelompoknya, misalnya saja di sebuah departemen disinyalir sebuah partai mengendalikan dan mengalirkan dana bagi kepentingan partainya, demikian juga pada BUMN-bumn. Akan tetapi dalam kaitannya dengan menangkal, mencegah dan menanggulangi korupsi, sudah diupayakan sejak zaman dahulu, hal ini terbukti dengan bahwa pada tahun 1957 dibuat Peraturan Penguasa Militer-Angkatan Darat dan Laut RI- Nomor: PRT/PM/06/1957 yang mencantumkan istilah korupsi secara yuridis. Pada masa itu, korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan dan menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian, dan mengabaikan moral. Peraturan dibuat karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) saat itu tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi.
Peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai upaya awal pemerintah dalam menanggulangi korupsi sebelum Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan. Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Bahkan, pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berbagai kalangan dalam dan luar negeri sudah mengemukakan pendapat mereka tentang korupsi di Indonesia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara. Disebutkan bahwa daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung pada kelancaran penyaluran dana kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya banyak mengandung unsur-unsur korupsi. Bila korupsi diberantas, maka akan merusak arus penyaluran dana itu dan pemerintahan akan hancur.
Secara lebih khusus, jajak pendapat yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan di berbagai kalangan masyarakat menunjukkan korupsi paling banyak dilakukan pada instansi, lembaga atau kegiatan-kegiatan pemerintahan. Berbagai kasus korupsi yang ditemukan telah diteruskan kepada Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti.
Berdasarkan urauain teoritis dan temuan diatas, langkah yang setidaknya bisa ditempuh dalam rangka menejemen strategik dalam penanggulangan korupsi antara lain:

 Penyempurnaan atau pembaharuan sistem admiistrasu yang belum berjalan sempurna untuk mencegah kebocoran. Khususya dalam hal ini masalah pengawasan harus lebih diintensifkan dan semaksimal mungkin menghapus duplikasi-duplikasi dalam kelembagaan pengawasan
 Peningkatan kesejahteraan aparatur melalui sistem meritokrasi yang didasarkan atas performance. Kesejahteraan disini harus ditafsrikan sebagai pemenuhan kebutuhan fisik dan nono fisik, melalui pemenuhan kedua aspek ini diharapkan aparatur tidak akan mudah tergoda untuk melakukan penyelewengan dan diharapkan akan memperkuat motivasinya dalam melayani kepentingan publik.
 Pembaharuan sistem hukum pidana nasional guna mencegah kolusi yang relatif sulit dibuktikan. Pembaharuan hukum dimaksudkan sebagai penegakan norma-norma yang tidak hanya mengandalkan pada kebenaran secara textbook dan pembuktian formil, tetapi juga memperhatikan perasaan keadilin dalam masyarakat secara materiil.
 Penegakan konsep GGG secara serius, konsep GGG yang sejak awal sudah diperkenalkan oleh banyak lembaga internasional merupakan suatu intrumen yang terukur, oleh karena itu managemen dan tata kelola pemerintahan sebaiknya menggunakan para meter model GGG yang diikuti dengan transparansi dalam pemanfataan dan segala bentuk eksploitasi somberdaya baik keunagan maupun sumberdaya yang tersedia di dalam negeri.

Penutup

Saat ini, dalam setiap negara modern selalu terdapat tiga organisasi yang menjalankan fungsi dari seluruh kehidupan, yakni organisasi publik, organisasi privat (atau bisnis) dan organisasi nirlaba (NGOs). Secara fungsional kita dapat menebak bahwa organisasi pertama bertumpu pada pelayanan bagi semua pihak tanpa membedakan asal, agama, harta dan segala jenis atribut yang melekat pada setiap orang, sementara organisasi kedua bertujuan secara se-efisien mungkin mencari profit untuk kelangsungan usaha yang tentu saja bisa berakibat baik positif maupun negatif, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang banyak dan organisasi ketiga merupakan organisasi yang lahir dari masyarakat sendiri sebagai koreksi atas belum tercapai atau gagalnya negara atau kekuatan yang menghegemoni suatu bangsa dalam menjalankan tugasnya, adapun tujuannya adalah percepatan menuju masyarakat yang sejahtera.
Dalam perjalannya mungkin saja terjadi gesekan diantara ketiganya akan tetapi masing-masing pihak berjalan sesuai dengan orientasi mereka dan memiliki berbagai kelemahan sebagaimana kekuatan dalam diri mereka. Dalam konteks bernegara, khususnya mencegah terjadinya kerugian negara akibat korupsi dan sejenisnya maka ketiga pihak yang disebutkan diatas dalam batas-batas tertentu bisa dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan khittah masing-masing.
Paparan tentang perlunya re-orientasi pola administrasi dari model konservatif di Indonesia sebagaimana diuraikan panjang lebar diatas, bukanlah sebuah hal yang mutlak untuk diterima, paparan diatas hanyalah sebuah thesis yang perlu dibuktikan efektifitasnya. Keberhasilan beberapa tokoh dunia mulai dari Margareth Tathcer, Bill Clinton dan Fadel Muhammad hanyalah merupakan sebuah contoh kecil tentang berjalannya sistem di atas pada sebuah kluster masyarakat atau kelompok tertentu dan bisa jadi inspirasi lebih luas dapat digali berdasarkan ide diatas. Adapun manajemen strategik yang diusulkan adalah sebagian saja dari sekian banyak jalan keluar dalam mengantisipasi persoalan korupsi yang menggerogoti bangsa, sebagaimana dikatakan Drucker, bahwa sebenarnya tak ada negara yang terbelakang, melainkan hanya salah urus. Oleh karenanya bagi kita tidak ada kata terlambat untuk mencoba sesuatu yang baru tanpa melupakan kearifan lokal yang ada ditanah air dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan Pancasaila dan UUD 45.
*****
Penulis adalah Pakar Independen pada Wantannas dan Dewan Pembina pada INSTEAD

Tidak ada komentar: