Selasa, 02 Desember 2008

Quo Vadis UU - PHI

S. Tavip

Undang-undang (UU) No. 2 tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) yang mulai efektif diberlakukan pada tanggal 14 Januari 2006 lalu setelah sempat tertunda 2 tahun, sesungguhnya masih menyisakan sejumlah persoalan mendasar yang perlu disikapi dan dikritisi, yaitu: (1) bahwa bagi kaum pekerja beracara di pengadilan dengan segala aturan, tata cara dan etika beracara yang terkesan sangat kaku sesungguhnya masih merupakan sesuatu yang sangat awam. Ruang bagi pekerja untuk secara bebas menyampaikan permasalahan dan aspirasinya akan terhambat oleh aturan-aturan beracara tadi.

Bagi pengusaha barangkali tidak terlalu sulit dengan kekuatan keuangannya untuk menyewa seorang pengacara yang sudah sangat paham dan terbiasa beracara dan menangani kasus-kasus dan bersidang di Pengadilan, (2) kendati organisasi Serikat pekerja diberi hak untuk bertindak sebagai kuasa hukum sebagaimana pasal 87 Undang Undang No.2/2004 yang memainkan peran sebagai pembela untuk melindungi hak-hak anggotanya, namun ada produk hukum lain yang sepertinya terlupakan, yaitu UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang jelas-jelas menyatakan hanya seorang advokat dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum dan kualifikasi tertentu yang dapat bertindak sebagai pembela.

Selain advokat, jelas dilarang sebagaimana bunyi pasal 31 UU No.18 tahun 2003 di bawah ini: Pasal 31. Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi Advokat dan bertindak seolah-olah sebagai Advokat, tetapi bukan Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta) rupiah.

Jadi dengan demikian, peran serikat pekerja untuk dapat menjalankan fungsi pembelaan terhadap angotanya yang tengah berselisih di pengadilan akan terhambat oleh UU No.18 tahun 2003 tersebut.
Â
1. Bahwa pekerja atau serikat pekerja kemungkinan besar akan sering berhadapan dengan kalangan pengacara yang disewa oleh Pengusaha. Ini tentu saja akan mereduksi konsep hubungan bipartit pekerja-pengusaha yang didasarkan pada semangat kemitraan yang selama ini digembar-gemborkan oleh Pemerintah.

Bisa dibayangkan, seorang pengacara yang kurang memahami dan merasakan situasi hubungan industrial di tempat kerja harus menangani perselisihan yang sesungguhnya tidak bisa dipandang secara hitam putih sebagaimana hukum-hukum perdata/pidana yang selama ini ditanganinya. Artinya, pengacara akan sangat kaku berpendirian pada apa yang dimaui oleh kliennya, yaitu Pengusaha. Ruang-ruang untuk penyelesaian secara musyawarah bipartit akan sangat terbatas.

2. Kendati Undang-undang ini memberikan limit waktu tertentu (menurut mantan Menakertrans, Jacob Nuwa Wea tidak akan lebih dari 120 hari) untuk penyelesaian suatu perselisihan, namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa prosesnya akan berjalan lancar. Kalaupun terdapat pasal yang mengatur soal sanksi bagi kerja Mediator, Konsiliator dan Arbiter yang lambat dalam menyelesaikan sebuah kasus, namun sanksi tersebut lebih bersifat administratif yang tentu saja sangat longgar. Sementara di Mahkamah Agung sendiri saat ini masih terdapat belasan ribu perkara yang belum diputus.

3. Menyangkut rekrutmen hakim-hakim ad-hoc, baik pada tingkat Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung ternyata tidak cukup transparan. Kriteria apa yang dijadikan standar sehingga seseorang dapat dinyatakan lulus atau tidak lulus, sangat tidak jelas. Hal ini tentu saja menimbulkan dugaan adanya permainan/kongkalingkong antara para pejabat yang menseleksi dengan para calon hakim ad-hoc yang jumlahnya tidak sedikit dan tersebar di sejumlah wilayah propinsi di Indonesia.

4. Jika menilik lebih jauh kandungan dari UU ini, menyangkut peran Mediator dan Konsiliator, pada pasal 13 ayat 2 butir a disebutkan bahwa Mediator mengeluarkan anjuran, sementara pada pasal 19 ayat 2 butir a Konsiliator juga mengeluarkan anjuran. Artinya apa bedanya Mediator dan Konsiliator kalau mereka sama-sama harus mengeluarkan anjuran. Kesan yang nampak adalah bahwa UU ini sepertinya hanya ingin memberi lapangan kerja baru bagi mereka yang ingin menjadi Konsiliator.

5. Bahwa UU ini juga tidak bisa menjamin adanya penyelesaian perselisihan yang murah sebagaimana diamanatkan pada bagian konsiderannya. Karena ternyata untuk penyelesaian melalui arbiter, para pihak yang berselisih juga harus mengeluarkan sejumlah biaya (pasal 34 ayat 2 huruf c) yang berkenaan dengan biaya arbitrase dan honorarium arbiter yang besarnyapun masih belum jelas.

Lihat juga pasal 58. Untuk nilai gugatan di bawah Rp. 150.000.000 tidak dikenakan biaya. Padahal kita tahu bahwa saat ini banyak sekali kasus-kasus PHK yang bersifat massal yang dialami oleh pekerja-pekerja di industri manufaktur dengan upah yang seringkali masih di bawah nilai UMP, namun karena jumlah pekerjanya banyak, maka jika diakumulasikan nilainya bisa di atas Rp.150.000.000. Lalu bagaimana pula dengan gugatan yang tidak bernilai uang, seperti kasus skorsing, mutasi yang sewenang-wenang, intimidasi terhadap pekerja yang berserikat, perundingan PKB (Perjanjian Kerja Bersama) yang mengalami dead-lock, dan sebagainya.
Â
6. Ada hal yang menarik menyangkut soal perselisihan hak. Pada pasal 56 huruf a disebutkan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama mengenai perselisihan hak. Artinya masih bisa diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Padahal yang namanya hak dalam hubungan industrial adalah menyangkut nilai-nilai yang bersifat normatif. Jadi apabila seorang Pengusaha jelas-jelas tidak membayar upah pekerja sesuai ketentuan UMP yang berlaku atau tidak menyertakan pekerjanya dalam program Jamsostek, mengapa masih harus diajukan kasasi. Karena UMP maupun Jamsostek merupakan hak normatif pekerja yang bersifat wajib dilaksanakan oleh Pengusaha. Â

7. Bahwa sampai hari ini berbagai lembaga/instansi yang terkait dengan persiapan pembentukan pengadilan perselisihan hubungan industrial, lebih terfokus pada persoalan perekrutan hakim ad-hoc dan kurang memberikan perhatian terhadap pengangkatan mediator, konsiliator dan arbiter yang sampai hari ini masih tidak jelas keberadaannya. Padahal, peran ketiga unsur tersebut sangat penting dalam menyelesaikan suatu perselisihan ketenagakerjaan sebelum masuk ke lembaga peradilan hubungan industrial ataupun Mahkamah Agung. Perlu juga dibuka secara transparan mengenai mekanisme dan kriteria yang jelas jika seseorang dinyatakan layak atau tidak layak menjadi seorang mediator, konsiliator dan arbiter.

Tawaran Aternatif

Selama ini isu-isu ketenagakerjaan sepertinya kurang mendapat tempat yang strategis dan di negeri ini. Padahal hampir setiap hari kita menyaksikan begitu banyak kasus-kasus ketenagakerjaan yang tidak jarang menjadi pemberitaan utama di berbagai massa baik media cetak maupun elektronik.

Di tengah kegamangan terhadap pilihan proses penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan yang benar-benar cepat, sederhana, murah dan adil barangkali ide di bawah ini bisa dijadikan bahan pemikiran kita untuk bersama-sama menjajakinya, meski tentu saja masih diperlukan kajian yang lebih mendalam serta tinjauan dari berbagai aspek. Konsep yang coba ditawarkan di sini adalah: (a) Penyelesaian secara Bipartit; (b) Penyelesaian melalui Mediasi; (c) Penyelesaian melalui Komisi Daerah; (d) Penyelesaian melalui Komisi Nasional.Â

A. Penyelesaian Secara Bipartit

Penyelesaian secara bipartite harus tetap dilakukan antara para pihak yang berselisih. Namun rasanya sangat sulit dilakukan jika hubungan antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja berada pada posisi berhadap-hadapan (face to face) sebagai lawan yang setiap saat harus saling mengalahkan.

Pemerintah kiranya harus bekerja ekstra agar hubungan antara Pengusaha-Pekerja/Serikat Pekerja bisa terjalin lebih harmonis, lebih mesra dan lebih solid. Upaya-upaya untuk secara intensif mengkampanyekan nilai-nilai kemitraan harus terus dilakukan. Sikap alergi kalangan pengusaha terhadap serikat pekerja harus bisa dieliminir. Sehingga antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja tercipta sikap saling pengertian (mutual understanding), saling menghormati (mutual respect), saling percaya (mutual trust) dan saling memberikan manfaat (mutual benefit) yang dibangun melalui dialog-dialog yang sehat dan konstruktif yang dilandasi oleh rasa kebersamaan dan kejujuran.

Dengan demikian maka Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja akan bahu membahu bekerja sama (hand in hand) dalam memecahkan setiap permasalahan ketenagakerjaan yang sesungguhnya merupakan permasalahan kolektif yang tidak bisa ditangani dan dipecahkan sendiri oleh Pengusaha maupun Pekerja/Serikat Pekerja, melainkan harus secara bersama-sama.

Oleh karenanya agar penyelesaian secara bipartit dapat dilakukan secara efektif maka perlu dibangun dulu prakondisinya, yaitu menumbuhkan tradisi berunding yang kuat antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja. Untuk menunjang upaya tersebut, maka diperlukan political will dari Pemerintah untuk secara intensif mengkampanyekan budaya berunding yang dalam terminologi ILO disebut sebagai Social Dialog. Tidak berlebihan dan perlu didukung konsep PBB yang saat ini coba dibangun oleh kalangan Pengurus APINDO, yaitu Pengusaha-Buruh Bersatu agar berbagai persoalan ketenagakerjaan di negeri ini dapat diatasi secara win-win solution tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Juga tanpa ada campur tangan dari pihak Pemerintah yang terlalu kuat.

B. Penyelesaian melalui Pemerantaraan (Mediasi)Â

Keberadaan Pegawai Perantara di Instansi Pemerintah di Bidang Ketenagakerjaan sebaiknya harus tetap dipertahankan, namun yang selama ini fungsinya mengeluarkan anjuran manakala upaya perdamain tidak mencapai kata sepakat harus dihapuskan.

Penyelesaian secara damai harus tetap diupayakan secara maksimal oleh pegawai perantara (Mediator) dengan menawarkan berbagai alternatif pemecahan. Namun manakala upaya perdamaian itu menemui kegagalan dan para pihak masih juga berkeberatan dengan tawaran-tawaran solusi dari pegawai perantara, maka pegawai perantara tidak lalu membuat anjuran, melainkan melaporkan kepada lembaga di atasnya, yaitu Komisi Daerah Perselisihan Ketenagakerjaan tentang proses yang terjadi selama di pemerantaraan termasuk solusi yang coba ditawarkan serta sikap para pihak terhadap tawaran solusi tersebut.

Tentu saja harus diberi limit waktu agar laporan dari pegawai perantara tidak sampai berlarut-larut yang hanya akan merugikan para pihak yang berselisih. Atas keteledoran pegawai perantara dalam membuat laporan, maka para pihak dapat melaporkannya kepada atasan yang bersangkutan untuk dikenakan sanksi tegas. Nanti atas laporan dari pegawai perantara tersebut, biarkan Komisi yang memeriksa lebih lanjut melalui sidang-sidang hearing dan memutuskan perkaranya. Dengan cara ini, maka kesan bahwa anjuran cenderung bersifat vonis, bisa dieleminir begitu juga kongkalingkong antara Pegawai Perantara (Mediator) dengan pihak-pihak yang berselisih

C. Komisi Daerah Perselisihan Ketenagakerjaan

Atas laporan yang diterima dari Mediator, maka Komisi Daerah berwenang memeriksa dan memutus perkara dengan terlebih dahulu melakukan sidang hearing dengan memanggil para pihak yang berselisih guna dimintai keterangan-keterangannya. Komisi Daerah masih sangat mungkin menawarkan penyelesaian secara damai.

Lamanya proses penyelesaian di tingkat ini tentu saja harus dibatasi agar tidak menjadi berlarut-larut. Mungkin 30 hari lamanya. Anggota dari Komisi Daerah dipilih oleh DPR Propinsi melalui fit and proper test dari calon-calon yang diajukan oleh organisasinya masing-masing. Ini penting agar anggota DPR Daerah juga memiliki concern yang besar terhadap masalah-masalah ketenagakerjaan di daerahnya. Juga agar Komisi ini memiliki kredibilitas dan wibawa, baik di mata Pemerintah, Pengusaha maupun Pekerja/Serikat Pekerja karena pengangkatannya tidak sembarangan.

Bagi para calon anggota Komisi Daerah yang lulus fit and proper test kemudian dibuatkan surat pengesahan keanggotaan oleh Gubernur setempat disertai ketetapan mengenai fasilitas gaji, tunjangan-tunjangan dan lain sebagainya. Para anggota Komisi Daerah bekerja secara full time dan tidak diperkenankan nyambi di tempat lain agar perhatian, waktu dan tenaganya sepenuhnya dicurahkan untuk menyelesaikan kasus-kasus perselisihan yang ditanganinya.

Untuk menunjang kredibilitas anggota Komisi Daerah, maka mereka juga diharuskan melaporkan kekayaannya, baik sebelum maupun sesudah menjabat. Komisi Daerah terdiri dari 2 (dua) kamar masing-masing 9 orang dengan komposisi keterwakilan 3 : 3 : 3, yaitu 3 orang dari unsur Pemerintah, 3 orang dari unsur Pengusaha dan 3 orang dari unsur Serikat Pekerja. Agar banyak kasus yang dapat diperiksa dan diputus perkaranya, maka Komisi Daerah bersidang dari Senin sampai dengan Kamis dengan sekurang-kurangnya dalam sehari menyidangkan 5 kasus yang masuk.

Untuk memberi keleluasaan waktu yang cukup bagi anggota Komisi Daeah dalam menjalankan tugas-tugasnya, maka masa keanggotaan ditetapkan 5 (lima) tahun Mereka masih mungkin dapat diilih kembali untuk satu periode berikutnya. Jika terjadi pergantian antar waktu, mekanismenya tetap melalui DPRD.

Komisi Daerah bersifat independent dalam mengambil keputusan. Dia bukan merupakan bagian dari struktur Pemerintah Daerah. Namun keputusan Komisi Daerah masih bisa dibanding ke Komisi Nasional.

Oleh karenanya, para pihak yang berselisih harus segera memberikan jawaban atas putusan Komisi Daerah yaitu dalam waktu 10 hari kerja setelah diterimanya putusan Bagi yang tidak memberikan jawaban, maka dianggap menolak. Maka dengan sendirinya, kasus perselisihan dilimpahkan ke Komisi Nasional. Namun jika para pihak menyatakan dapat menerima putusan tersebut, maka pelaksanaannya dilakukan di bawah pengawasan Kantor Dinas Tenaga Kerja di tingkat Kotamadya/Kabupaten.

D. Komisi Nasional Perselisihan Ketenagakerjaan

Seperti juga tugas dan tanggung-jawab Komisi Daerah, Komisi Nasional Perselisihan Ketenagakerjaan juga melakukan pemeriksaan dan memutus perkara atas kasus-kasus yang diajukan banding dari Komisi Daerah. Keputusan Komisi Nasional untuk kasus apapun bersifat tetap dan final.

Dalam pemilihan anggota Komisi Nasional, proses fit and proper test dilakukan melalui DPR Pusat dari calon-calon yang diajukan oleh organisasinya masing-masing serta Pengesahannya yang dilakukan melalui Keputusan Presiden. Mereka bekerja secara full time dan tidak diperkenankan nyambi di tempat lain. Kekayaan mereka juga harus dilaporkan secara transparan, baik sebelum maupun setelah menjadi anggota Komisi. Dia juga terdiri dari 2 (dua) kamar masing-masing 9 orang dengan komposisi keterwakilan 3 : 3 : 3, yaitu 3 orang dari unsur Pemerintah, 3 orang dari unsur Pengusaha dan 3 orang dari unsur Serikat Pekerja

Begitu juga agar banyak kasus yang dapat diperiksa dan diputus perkaranya, maka Komisi Nasional bersidang dari Senin sampai dengan Kamis dengan sekurang-kurangnya dalam sehari menyidangkan 5 kasus yang masuk. Lamanya proses penyelesaian di tingkat ini tentu saja juga harus dibatasi agar tidak menjadi berlarut-larut, yaitu 30 hari lamanya. Masa keanggotaan juga sama yaitu 5 (lima) tahun. Dapat dipilih kembali untuk satu periode berikutnya. Jika terjadi pergantian antar waktu karena anggota yang bersangkutan mengundurkan diri, sakit, meninggal dunia dan sebagainya, mekanismenya masih tetap melalui DPR Pusat.

Komisi Nasional bersifat independen dalam mengambil keputusan. Dia bukan merupakan bagian dari struktur Pemerintah Pusat. Sehingga keputusannya (harus dinyatakan dalam UU) tidak bisa digugat ke PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Dengan demikian hal ini akan semakin mempercepat proses penyelesaian perselisihan.

Demikianlah gagasan dibentuknya Komisi Daerah dan Komisi Nasional ini tujuannya tidak lain agar masalah-masalah ketenagakerjaan bisa menjadi concern semua pihak, tidak dipandang sebelah mata dan tidak dimarjinalisasikan. Tentu saja gagasan ini masih bersifat garis besar. Masih diperlukan pemikiran-pemikiran lain untuk menyempurnakannya agar proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, murah, sederhana dan adil dapat memenuhi harapan setiap orang.

* Penulis adalah Ketua Dewan Syuro Organsasi Pekerja Seluruh Indonesia

Tidak ada komentar: