Selasa, 02 Desember 2008

Politik Oligarkis dan Konservatisme Hukum

Politik Oligarkis dan Konservatisme Hukum
Oleh Launa



Jumat, 26 Mei 2006
Tesis Prof Machfud MD (Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, 2001) tentang
karakter produk hukum yang imperatif dipengaruhi oleh konfigurasi politik, menarik untuk dicermati terkait dengan isu revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UUK) No 13/2003 yang kini kontroversial.

Dalam tesis ini dinyatakan, eksistensi suatu produk hukum dan penegakannya selalu berubah seiring dengan perubahan-perubahan politik. Kalau konfigurasi politik tampil demokratis, hukum jadi responsif. Namun, ketika konfigurasi politik berubah jadi otoriter, hukum pun menjadi berwatak konservatif.

Jika ditilik dari konfigurasi politik yang melatari lahirnya UUK 13/2003, yang resminya diundangkan pada 25 Februari 2003 lalu, ia seharusnya berwatak responsif-demokratis karena konfigurasi politik yang mendasarinya telah masuk dalam era reformasi.

Tapi, reformasi hanya sebatas "transisi elite" yang tak memiliki cukup gizi untuk mendorong lahirnya sebuah UU ketenagakerjaan yang demokratis, di mana serikat buruh terlibat secara aktif dan representatif dalam proses perumusannya. Hasilnya, UUK tak lebih dari sebuah produk elitis-konservatif yang legitimasinya disepakati sebatas elite DPR, pengusaha, dan segelintir pimpinan serikat buruh.

Karena wataknya yang elitis dan konservatif, pemberlakuan UUK 13/2003 akhirnya harus diterima sebagai hasil kompromi "setengah hati" oleh mayoritas serikat-serikat buruh yang ketika itu berada pada posisi ekstraparlemen. Sejak awal pemberlakuannya, UU ini memang menyimpan potensi konfliktual yang datang dari kalangan serikat buruh.

Kendati era reformasi telah bergulir seiring dengan runtuhnya kekuasaan
despotik Soeharto, paradigma elite dan birokrasi hukum tetap saja berwatak konservatif. Kondisi itu terjadi karena suasana demokratis dalam konfigurasi politik Indonesia hanya berlangsung sementara, setelah itu ia kembali berbelok ke arah oligarkisme, akibat hegemoni politik partai yang menjadi konsekuensi dari sistem multipartai.

Jika pada masa Orde Baru produk hukum dilahirkan sebagai alat kendali negara atas kekuatan-kekuatan politik nonnegara, maka kini produk hukum (termasuk UUK) hadir untuk diabdikan sepenuhnya bagi berlangsungnya free market mechanism yang berwatak promodal.

Agenda Labour Reform Strategy sebagai salah satu program penting Bank Dunia untuk mewujudkan "tata pemerintahan yang baik" (good governance) di
negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia, diduga kuat memberi energi bagi lahirnya berbagai karakter produk hukum konservatif. Substansi dari agenda Labour Reform versi Bank Dunia ini hanya committed pada agenda "liberalisasi perburuhan" (guna mendukung proyek liberalisasi ekonomi pada tingkat global), akan tetapi ia tak peduli pada soal labour protection yang menjadi katup pengaman hak-hak dasar buruh (core labor standard), yang potensial melanggar prinsip-prinsip dasar HAM.

Ditinjau dari sisi konfigurasi politik nasional, mekanisme politik kuasi-federal melalui sistem dominasi partai yang berlangsung saat ini kembali memperkuat hadirnya watak politik oligarkis, di mana keputusan-keputusan penting kenegaraan hanya tersiklus di lingkaran elite, yang dalam praktiknya cenderung kolutif dan koruptif.

Di sini, partai politik tak mampu melaksanakan fungsi idealnya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Di dalam sistem oligarkis-elitis, partai politik hanya berperan sebatas "arena kerubutan politik" yang sibuk pada penjatahan kue kekuasaan. Dalam suasana political crowded ini para elite berjuang sebatas fungsinya sebagai artikulator politik (yang kerap inkonsisten), bukan sebagai fasilitator demokrasi, apalagi avant garde bagi perwujudan hak-hak rakyat.

Karakter hukum konservatif dan konfigurasi politik oligarkis teruji dalam kasus revisi UUK. Belum genap tiga tahun usia UUK 13/2003, ia kembali di otak-atik para elite, bukan karena seluruh pasal dan ayat yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh responsif dan melindungi buruh, akan tetapi karena beberapa pasal dan ayatnya dinilai mengganggu terwujudnya prinsip labor market flexibility dan tumbuhnya iklim investasi guna menunjang fundamen sistem pasar yang neoliberal.

Rencana perubahan yang menyangkut pasal-pasal utama perlindungan buruh, seperti soal PHK, pesangon, perjanjian kerja bersama (PKB), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), ketentuan upah, outsourcing, pembatasan tenaga kerja asing, dan ketentuan cuti panjang, adalah bukti dari keresahan elite oligarkis atas pasal-pasal yang cenderung labour protected dan tidak market friendly itu.

Dalam praktik, law enforcement terhadap UUK sejauh ini juga amat lemah. Ratusan kasus pelanggaran yang dilakukan pengusaha terhadap "kebebasan berserikat" bagi pekerja (yang regulasinya diatur dalam UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh). misalnya, hingga kini tak satu pun kasusnya yang sampai ke pengadilan. Padahal, pasal 43 ayat (1) jo ayat (2) UU 21/2000 dengan jelas memberi sanksi perdata (denda Rp 100 juta-Rp 500 juta) dan pidana (1-5 tahun penjara) bagi pengusaha yang terbukti secara sah menghalang-halangi kebebasan berserikat buruhnya.

Mekanisme tripartit sejauh ini juga berjalan tidak efektif. Data menunjukkan bahwa ribuan kasus "perselisihan hak" dan "perselisihan kepentingan" lebih banyak ditangani kasusnya oleh lembaga P4P atau P4D (yang umumnya macet, akibat minimnya dana dan personil) ketimbang diselesaikan di forum tripartit-bipartit.

Presiden mungkin lupa bahwa gagasannya untuk mengembalikan mekanisme revisi UUK pada forum Tripartit Nasional hanya mungkin efektif jika buruh memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pengusaha. Atas dasar itu, dilema revisi UUK 13/2003 sesungguhnya bersumber dari konfigurasi politik oligarkis saat ini, yang mustahil melahirkan produk hukum ketenagakerjaan berwatak demokratis.

Lahirnya produk hukum (termasuk UU Ketenagakerjaan) yang responsif hanya mungkin terjadi jika serikat buruh memiliki visi besar bersama kekuatan civil society lainnya untuk mendorong tampilnya konfigurasi politik demokratis. Kini perjuangan menolak revisi UUK yang menjadi agenda seluruh elemen serikat buruh menjadi batu uji sejarah: mampukah kekuatan massif ini bertindak progresif sebagai pelopor demokrasi? ***

* Penulis adalah Anggota Dewan Pengurus INSTEAD

Tidak ada komentar: