Selasa, 02 Desember 2008

Mendorong Kebangkitan Sektor Riil ditengah Krisis Global

Mendorong Kebangkitan Sektor Riil
Ditengah krisis ekonomi Global
M.Azman Fajar


Latar Belakang

Kata krisis ekonomi sebenarnya tidak lagi merupakan suatu hal yang seharusnya mengagetkan bagi bangsa Indonesia, meskipun bisa jadi kata ini tetap merupakan momok bagi setiap bangsa yang fundamental ekonominya belum stabil dan masih tergantung secara langsung pada amplitudo perekonomian dunia. Hal ini harus dipahami demikian karena pada dasarnya kita memang masih berada dijurang krisis dan adanya kontraksi dalam perekonomian Indonesia saat ini adalah gejolak yang menandakan perekonomian berjalan, akan tetapi meskipun terdengar skeptis, Indonesia masih tergolong belum keluar dari realitas krisis manakala kebutuhan pokok seperti beras, minyak dan bahan bakar masih susah didapat, meskipun GNP terlihat meningkat dari tahun ketahun pasca krisis moneter global dan diestimasikan akan mencapai 6,1% pada akhir tahun 2008.
Persoalannya saat ini bagi bangsa Indonesia yang merupakan bangsa yang menganut sistem perekonomian terbuka yang berintegrasi dengan sistem dunia melalui penandatanganan klausul ekonomi melalui WTO, segala sesuatu yang menyangkut pergerakan perekonomian internasional akan membawa gelombang yang mempengaruhi perkenonomian Indonesia juga.
Sebagaimana telah banyak dikaji dalam paper ilmiah keikut sertaan Indonesia pada gerakan ekonomi bernama Globalisasi telah menyeret Indonesia untuk mau tidak mau siap bertarung dalam perekonomian global yang cenderung memihak kepada negara mapan dan setiap saat siap mendestruksi perekonomian negara yang masih harus menata stabilitas perekomian secara fundamental yang menurut kajian Paul Baran dalam The Political Economy of Growth negara Pheri-pheri seperti Indonesia masih sangat tergantung pada laju gerak perkonomian negara yang menjadi pemain utama sistem ekonomi Internasional seperti Amerika, Eropa dan Jepang.
Globalisasi sendiri pada dasarnya tetap harus dilihat tidak lebih dari usaha penguasaan terhadap perekonomian negara dunia ketiga seperti Indonesia dan beberapa negara dikawasan Asia Tenggara dan Amerika Latin, dalam prosesnya resep jitu yang ditawarkan oleh penggagas globalisasi adalah Structural Adjustment Program (SAP), sebuah term yang digunakan oleh IMF dan World Bank sebagai syarat pencairan utang terhadap lembaga tersebut bagi negara yang terlilit krisis yang pada umumnya adalah implementasi program dan kebijakan "free market"
Penekanan program gerakan globalisasi pada beberapa hal seperti Liberalisasi, Privatisasi dan Deregulasi yang kemudian di ikuti dengan terintegrasinya sistem ekonomi Indonesia yang didasarkan pada perekonomian rakyat berdasarkan pancasila kepada sistem ekonomi global telah sedikit demi sedikit menjauhkan pemerintah dari rakyatnya, Penjualan asset BUMN yang bersifat strategis kepada pihak asing diawal awal krisis gelombang I pada akhir tahun 90an hingga zaman presiden Megawati berkuasa guna menutupi defisit APBN yang sejak semula ditentang banyak pihak, kini saat ini telah pula membuat pemerintah kalang kabut untuk melakukan buyback yang disinyalir akan mengeluarkan dana puluhan triliun yang notabenenya didapat dari rakyat
Persoalan ekonomi regional yang saat ini menguat juga menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang dituntut unutk siap berkompetisi dengan negara lain dalam kawasan, misalnya saja, dalam hal komoditi karet dan kelapa sawit, kita harus bersaing dengan Malaysia, dalam hal Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) kita harus bersaing keras dengan Vietnam, India, Cambodia dan pemain terkuat China, untuk produk pertanian, Thailand dan Vietnam adalah negara yang juga harus kita perhitungkan dalam hal ekspor pertanian dan olahan hasil laut.

Dinamika Seltor Riil

Sulit untuk diingkari bahwa sesungguhnya Indonesia sejak krisis moneter I pada akhir tahun 90an sebenarnya ditopang oleh sektor riil. Meskipun sejak sama pemerintahan Presiden Soeharto yang mengedepankan peran sektor jasa yanng sealigus menganak tirikan sektor riil tetap saja penyelamat perekonomian Indonesia telah diselamatkan oleh sektor yang termasuk dalam klsifikasi tidak sexy ini
Data BPS tahun 2007 menunjukan bahwa sektor rril yang di gawangi oleh sektor pertanian adalah tiang utama dari perekonomian, disusul oleh sektor manufaktur, sementara sektor jasa tidak memperlihatkan peran yang signifokan dalam penguatan stabilitas perekonomian bangsa. Kenyataan ini bisa dilihat pada Table I
Table I:EMPLOYMENT by Activity

Sector 2006 2007
Agriculture 40.1 41.2
Industry 11.9 12.4
Construction 4.7 5.2
Trade 19.2 20.6
Transportation 5.7 6.0
Finance 1.4 1.4
Others* 12.5 13.2
Total 95.5 99.9


Dalam suatu tulisan berjudul Reorientasi Paradigma Ekonomi DR. Ivan A. Hadar mengemukakan “Pernyataan tentang kuatnya fundamental ekonomi kita, pernah dilontarkan ketika tanda-tanda krisis moneter mulai melanda Asia pada 1997. Kenyataannya, cerita sukses makro ekonomi pemeritahan Orde Baru seakan bubble yang dalam sekejap meletup meninggalkan krisis berkepanjangan yang dampaknya masih terasa hingga kini.
Ungkapan diatas, seakan mendapat legitimasi ketika Amerika terkena krisis perekonomian yang diperkirakan masih akan berkelanjutan dan telah secara langsung dirasakan oleh Indonesia. Oleh karena itu, saat ini Indonesia secara serius menggarap sektor riil dalam membangun perekonomian karena sebagaimana biasanya sektor riil menjadi pembicaraan manakala terjadi krisis dan serta merta dilupakan ketika keadaan dianggap cenderung stabil.
Sebuah data yang kembali diungkap oleh BPS memperlihatkan lagi bagaimana potensialnya kekuatan sektor informal. Penyerapan tenaga kerja oleh Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan tetap mendominasi pertumbuhan ekonomi dan hanya mampu diikuti oleh sektor Industri lainnya yaitu Industri manufaktur yang juga bersifat padat karya., setidaknya hal ini terjadi hingga awal 2009.
Tabel II dibawah menggambarkan pemaparan diatas






Tabel II: Jumlah angkt kerja berdasarkan sektor kerja
No Main Industry 2006 (Feb) 2006 (Agust) 2007 (Feb) 2007 (Agt) 2008 (Feb)

1. Agriculture, Forestry, Hunting and Fishery 42 323 190 40 136 242 42 608 760 41 206 474 42 689 635
2. Mining and Quarrying 947 097 923 591 1 020 807 994 614 1 062 309
3. Manufacturing Industry 11 578 141 11 890 170 12 094 067 12 368 729 12 440 141
4. Electricity, Gas, and Water 207 102 228 018 247 059 174 884 207 909
5. Construction 4 373 950 4 697 354 4 397 132 5 252 581 4 733 679
6. Wholesale Trade, Retail Trade, Restaurants and Hotels 18 555 057 19 215 660 19 425 270 20 554 650 20 684 041
7. Transportation, Storage, and Communications 5 467 308 5 663 956 5 575 499 5 958 811 6 013 947
8. Financing, Insurance, Real Estate and Business Services 1 153 292 1 346 044 1 252 195 1 399 940 1 440 042
9. Community, Social, and Personal Services 10 571 965 11 355 900 10 962 352 12 019 984 12 778 154

Total 95 177 102 95 456 935 97 583 141 99 930 217 102 049 857

Source: National Labour Force Survey 2006 and 2007



Optimalisasi Sektor Riil

Saat ini diskurus tentang sektor riil mengemuka lagi dan sekali lagi sektor riil diharapkan akan mampu menyelamatkan perekonomian Indonesia ditengah ancaman krisis global. Sebuah kata yang cukup tepat untuk menggambarkan fenomena ini mungkin sektor riil adalah the savior on the last resort.
Ada beberapa strategi instant yang sekiranya perlu dilakukan dalam mendorong sektor riil agar mampu lebih berperan dalam memperkuat bangunan ekonomi bangsa misalnya;
1. Pemerintah wajib menyediakan fasilitas yang berupa kemudahan bagi sektor riil yang potensial dalam mengakses dana dengan cara melakukan asessment terlebih dahulu terhadap pelaku ekonomi sektor ini. penilaian yang obyektif ini tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri, tetapi akan lebih efektif jika memanfaatkan jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dibidang pengembangan sektor ekonomi berbasis kerakyatan yang kemudian memberikan sertifikasi kepada pelaku ekonomi informal yang diendorse oleh pemerintah melalui departemen terkait seperti Departemen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menegah, Depertemen Kelautan, Departemen Perdagangan atau instansi terkait. Dengan cara ini pemerintah akan tahu tentang berapa banyak pelaku sektor riil yang seharusnya dibantu secara finansial dan diharapkan secara moral pelaku sektor ini akan mengetahui kewajibannya dalam memperkuat perekonomian melalui apa yang mereka kerjakan
Sebagai regulator, pemerintah diharapkan aktif memberikan himbauan kepada pihak perbankan untuk terlibat dalam pembiayaan seltor riil sehingga beban pemerintah diharapkan dapat dibagi kepada sektor Perbankan dan Pembiayaan di Indonesia yang hingga saat ini dikenal mampu melaksanakan kegiatan apapun akan tetapi tidak pernah mampu melaksanakan fungsi utamanya yaitu: Menyalurkan Pinjaman Usaha secara serius.

2. Pemerintah perlu mengeluarkan regulasi yang menjamin bahwa sektor riil baik yang bersifat formal maupun informal akan diperlakukan secara adil yang didasarkan atas prinsip kesetaraan. Ini penting dilakukan oleh pemerintah karena dengan terintegrasinya Indonesia kedalam Globaliasi, perlindungan kepada pelaku usaha menjadi hal yang diharamkan. Oleh karenanya pemerintah sebagai regulator seharusnya berperan secara maksimal dalam memacu pertumbuhan pelaku industri sektor riil secara tidak langsung melalui regulasi yang bersifat lebih pro-rakyat.

3. Pemerintah perlu meningkatkan penggalian potens berbasis pertanian, kelautan dan pemanfaatan hasil hutan dengan mengedepankan pada high end products. Selama ini pemerintah seakan tutup mata pada sektor ini dan membiarkan mereka berjuang, bertarung dalam kerasnya persaingan global. Dengan cara ini diharapkan akan ada value added yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi sektor pertanian, kelautan dan hasil hutan. Nilai tambah dari sektor ini dapat diperoleh dengan cara menyediakan technologi pengalengan yang baik bagi produk pertanian yang melimpah di Indonesia, misalnya saja mendirikan pabrik pengolahan dan pengalengan Nenas, Rambutan, Nata de Coco, dll, di wilayah yang menghasilkan produk ini, pengalengan Ikan dan hasil laut lainnya di daerah yang memiliki potensi perikanan laut yang tinggi di banyak pelosok kepulauan Indonesia serta penting juga bagi Indonesia untuk mengolah hasil hutan berupa kayu dan sejenisnya sebelum diekspor keluar negeri.

4. Pemerintah perlu menyesuaikan kembali belanja APBN dan APBD. Selama ini masyarakat “melek ekonomi” sering kali menyoroti belanja APBN dan APBD pemerintah yang disinyalir tidak terlalu akrab dengan pengembangan sektor produktif, ditengarai APBN/APBD sepertiganya dibelanjakan untuk hal-hal yang lebih bersifat proyek mercusuar dan hanya mengedepankan pemenuhan fasilitas bagi penyelenggara pemerintahan di wilayah bersangkutan. Barangkali ada baiknya apabila belanja sektor infrastruktur yang selama ini sudah dilakukan oleh pengelola APBN/APBD juga memperhatikan kebutuhan akan pengembangan usaha bagi sektor riil. Apabila ini berhasil dilaksanakan bukan tidak mungkin pembangunan yang dimulai dari daerah akan memperkuat perekonomian daerah secara keseluruhan. Kisah Sukses Fadel Muhammad di Gorontalo dengan menerapkan system Reinventing Local Government sedikit banyak memperlihatkan hal itu, tidak termasuk jika kita mau juga belajar dari Amerika Latin bagaimana pembangunan dari perkonomian dari Propinsi telah sejak awal dilakukan oleh tokoh kontroversial Fidel Castro dalam mempertahankan kedaulatan ekonomi Cuba dari pengaruh kekuatan ekonomi Amerika yang ia tunding sebagai pengaruh buruk dalam perekonomian internasional.
Penempatan dana APBD beberapa daerah pada Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia adalah sebuah contoh bagaimana pemerintah daerah enggan memanfaatkan dana untuk membantu berkembangnya perekonomian dan lebih melihat faktor bunga dari SBI sebagai bentuk investasi yang profitable dangan melupakan beban negara yang harus dibayar kepada pemegang sertifikat dan stagnannya pembangunan sektor riil di daerah. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika sekiranya pemerintah memberlakukan ketetunan yang lebih ketat mengenai hal ini.

5. Pemerintah menyerukan dan memberi contoh pemakaian/konsumsi produk lokal. Tindakan ini penting dilakukan karena terbukti dapat meningkatkan hasil produksi dalam negeri dan secara signifikan meningkatkan geliat ekonomi domestik. Contoh nyata yang masih segar dalam ingatan kita adalah adanya peningkatan pada produk TPT yaitu meningkatnya industri pakaian jadi manakala pemerintah menyontohkan kepada masyarakat untuk memakai pakaian Batik sebagai pakaian kebanggaan nasional. Meskipun tidak se-bombastis income hasil ekspor ke luar negeri, tetapi hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata karena sendi-sendi kehidupan dan perkembangan sektor riil dibidang ini menunjukan grafik yang semakin baik. Dalam scala yang lebih luas, perlu kiranya pemerintah merkaca pada pemerintah India, Elit politik dinegara ini menyatakan tidak tertarik menggunakan kendaraan buatan Eropa dan Jepang sebagai kendaraan operasional meskipun menjanjikan kenyamanan dan keamanan dan sebagai gantinya mereka berlomba-lomba menggunakan mobil produk dalam negeri meskipun tidak luxurous produk luar. Bagaimana dengan Indonesia? Berapa biaya yang dikeluarkan untuk fasilitas seperti ini?

6. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberlakukan secara efekif pajak progresif guna menopang pembangunan daripada terus menerus mengandalkan investasi asing yang rentan mempengaruhi perkonomian bangsa manakala gejolak moneter internasional terjadi seperti saat ini. Langkah ini masih mungkin dilakukan oleh pemerinah mengingat rasio antara pembayar pajak dan penerimaan negara hanya berkisar pada angka 30%. Ini berarti masih sangat mungkin ditingkatkan dan akan menjadi alternatif pembangunan apabila dikelola secara terbuka dan mampu dipertanggung jawabkan sebagaimana yang banyak terjadi pada negara-negara skandinavia.


Penutup
Secara garis besar kita bisa melihat bahwa sebenarnya apabila strategi yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan ditopang sepenuhnya oleh pelaku ekonomi baik sektor riil atau jasa akan mampu mengurangi dampak dari krisis moneter global yang terjadi. Hal ini hanya akan berjalan jika pemerintah beserta lembaga pembiayaan yang ada. Belakangan ini penyimpanan dana perbankan dalam bentuk portofolio bank sentral semakin banyak. Salah satunya adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, ketika itulah peran para bankir dipertanyakan karena dinilai tidak produktif, terutama terhadap sektor riil. Bisnis inti perbankan pada dasarnya adalah penyaluran kredit dan bukan penempatan dana pada portofolio bank sentral. Jika masih banyak penempatan dana pada portofolio, profesionalisme bank yang bersangkutan dapat dikatakan kurang baik dan bisa digolongkan sebagai profit taker semata tanpa mempertimbangkan kepentingan nasional.

Ketergantungan sistem ekonomi Indonesia yang terintegrasi kepada perekonomian dunia bukan berarti bahwa kita tidak bisa merubah sistem perekonomian kita menjadi perekonomian yang didasarkan atas kemandirian dan usaha dalam negeri. Sistem perekonomian yang dipacu dari masuknya investasi asing meskipun dipandang sebagai cara yang gampang dalam menggerakan perekonomian juga sangat rentan dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang pada gilirannya akan berimbas pada perkonomian dalam negeri. Dalam hal ini penggalian sumber dana alternatif harus se-kreatif mungkin dilakukan tanpa memberati rakyat yang hingga saat ini masih lebih banyak menjadi korban pembangunan daripada penikmat hasil pembangunan.
Penindak tegasan pada aktor yang merugikan negara juga merupakan hal yang harus ditindak, fenomena spekulan dadakan yang memanfaatkan kejatuhan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar atau Euro harus dilihat sebagai upaya menggembosi perekonomian nasional dan guna mencegah hal ini pemerintah perlu mengembangkan peraturan yang mengakomodir hal ini.
Good will pada akhirnya adalah kunci utama dari pelaksanaan strategi pembangunan kekuatan ekonomi yang sebaiknya disusun dalam bentuk pola perekonomian jangka panjang. Sistem perekonomian ad hoc tidak terbukti memiliki ketahanan yang baik manakala dihadapkan pada realitas krisis yang mendadak muncul. Dan seperti yang pernah dialami oleh Indonesia, strategi apapun yang ditetapkan tidak lah bisa menjadi panachea yang menyelesaikan kemelut perekonomian secara instant, resep dari lembaga keungan yang pernah diterapkan justru memperparah kondisi perekonomian. Oleh karena itu kiranya kedepan penting bagi pemerintah untuk benar-benar serius menjalankan ekonomi yang didasarkan pada konsep yang diawali oleh semangat untuk keluar dari kemelut yang sudah inheren pada bangsa Indonesia…Semoga!
*****
* Penulis adalah Pembina pada INSTEAD

Tidak ada komentar: